Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

BERJALAN BERSAMA MEREKA

Gambar
Sembari menunggu senja yang pelan-pelan masuk ke dalam semesta, sebelum akhirnya malam datang bersama kesunyian diam-diam menggelitik manusia dengan mimpi bahagia. Saya menulis. Setelah seharian diguyur terik, menjejali Jakarta dengan hangat yang berlebih dan jalanan yang lupa untuk sepi. Saya menulis. Setiap yang bernyawa sudah seharusnya bahagia, dan setiap bahagia sudah seharusnya kau bagi secara cuma-cuma. Saya menulis tentang mereka, orang-orang hebat yang setiap hari, jam, menit, dan detiknya memberikan kebahagiaan untuk dikonsumsi secara sukarela. Ya, mereka, seperti yang kau lihat adalah orang-orang yang tak pernah puas bahagia, dan saya adalah salah satu orang yang paling beruntung bisa menikmati cinta mereka tanpa harus mengantre lama, mengeluarkan berlembar-lembar angka untuk mendapatkan secarik kertas tipis sebagai syarat menonton pertunjukkan pantomim tertawa. Mereka adalah teman dengan segala maknanya. Teman dengan tingkatan bersyukur yang jauh tinggi meleb

MENYELAMI DELAPAN PULUH HARI

Gambar
Biarlah malam yang patah, Sedang aku, kau bilang adalah rumah untuk dadamu yang lelah. Pelukanku ada pulang untuk punggungmu yang ingin rebah. Aku terlalu lemah, tak bisa menolak lengan-lenganmu yang merengkuh pasrah. Biarlah malam yang resah, Segala desah dan detak di nadi kita membuat malam semakin jalang. Senja dikubur begitu cepat hingga garis petang yang tak ingin kita pulangkan justru hilang.  Hujan dan dingin didatangkan, namun buat kita, segala berisiknya adalah gurauan para bintang. Terkadang aku menunggu, sisa-sisa parfum dalam dekapmu. Terkadang aku merindu, kau mabuk cepat-cepat mengecup keningku seraya bilang, "aku cinta kamu", seperti dulu bagaimana kita bertemu. Waktu itu, aku termangu, hanya memperhatikan wajahmu yang semakin malam semakin layu, terjebak dalam pundakmu yang lelah. Kau ucapkan tiga kata itu kembali karena kau heran masih tak mendengar jawabanku. Aku sibuk sendiri, mencoba melerai pikiran dan hati yang saling berteriak di

THE KING

Gambar
Langkah kami sama, senyum kami sama. Namun, getar di dada mungkin berbeda. Perlahan-lahan kami berjalan, menandai setiap pasang mata yang melihat dengan senyuman. Di ujung sana, pria dengan tuxedo hitam menungguku juga dengan senyuman. Ruangan ini penuh dengan warna-warni senyuman, meski mungkin dengan percikan bahagia yang berbeda. Pria yang berjalan bersamaku kembali menguatkan dengan sentuhannya di tanganku. Dia tahu, aku gemetar, penuh dengan ketar-ketir yang sekuat tenaga kututupi dengan bubuk putih di wajah dan gincu merah di bibirku. Aku sampai di ujung jalan, di depan meja yang berbunga-bunga sama seperti yang kurasakan meski indahnya masih tertutupi gugup yang entah bagaimana untuk mengusirnya lagi. Pria yang menungguku menyambut tanganku, dan pria yang berjalan di sampingku lambat-laun pergi dengan langkahnya yang begitu hati-hati. Dia tidak ingin merusak sakral yang sebentar lagi akan terjadi. Tetapi, begitu keras langkahnya terdengar di telingaku, seperti dent

PANGERAN DATANG

Gambar
Seperti sepi yang tak pernah pulang. Begitulah hujan datang, bak singa yang kelaparan. Aku adalah rusa yang malang, dari balik jendela pasrah diserang. Hingga hari kesepuluh kau datang, mengetuk hati yang memang sedang bosan sendirian. Sudah tidak paham lagi, dingin yang menyelimutimu atau sebaliknya. Hangat yang kau sebarkan seperti pupuk tanaman melebur bersama angin cepat-cepat menghilang. Penampilanmu bak badut kerajaan, tetapi dalam mataku kau tak ubahnya pangeran. Aku menerka-nerka apa alasanmu kemari, sedang kau di bawah hujan menari-nari. Seperti orang bodoh, aku bertanya-tanya dalam hatiku sendiri, sedang kau di sana masih dengan gelak tawa. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali kau buang senyuman. Segala candamu saat itu juga ciptakan kerinduan. Waktu terus berjalan, entah menit keberapa kau mendekat. Kau adalah kejutan, dan aku tak siap. Aku gugup, gelagatku tak karuan. Kau menangkapku yang salah tingkah, membekukanku dengan senyuman. Kau bercerita tentang

KUKIRA ADA KAMU

Gambar
Menikmati siang Jakarta yang mengecup lembut sampai pori-pori kulitku. Teriknya terlambat untuk menghangatkan, namun tetap menenangkan. Dan kamu, penuh di depanku memperhatikan ice cream yang semakin mencair dengan senyum itu melulu. Aku melucu dalam imajinasiku antara kau dan senyum itu yang membuatku luluh bersama ice cream di tanganmu. Keningmu berkerut melihatku tersenyum sendiri tanpa kau melucu seperti kemarin atau esok yang kunanti. Kamu memang tidak lucu, tetapi tanpa itupun aku tetap tersenyum bahkan tertawa melihatmu. Entah karena apa... Kamu adalah masa laluku yang tak ingin aku tahu alasannya. Kamu adalah kita hingga saat ini, yang lagi-lagi tidak ingin aku tahu mengapa. Kamu yang terisi penuh bahagia, alpa, dan juga aku. Kamu adalah tempat di mana "iya"ku menuju. Kamu adalah tempat di mana segala "pas"ku menyatu. Tak pernah kuanggap kamu adalah hampa yang harus aku isi penuh seperti bejana, membuatmu diam pasrah dan berpura-pura suka. Kamu buk

PEOPLE TODAY

Gambar
Karena mereka banyak bersedih Karena mereka banyak membenci Karena mereka banyak berbicara Karena mereka banyak bekerja Tetapi mereka sedikit tertawa Tetapi mereka sedikit yang saling mencinta Tetapi mereka sedikit yang berkata jujur Tetapi mereka sedikit sekali bersantai Kadang mereka hanya lupa berkedip Kadang mereka hanya lupa menarik nafas Kadang mereka hanya lupa mengosongkan pikiran Kadang mereka hanya lupa dengan diri sendiri Dan kamu? Adalah mereka.

SELAMAT ULANG TAHUN (2)

Gambar
Namanya Ririn. Wanita pertama yang merasakan rahim ibu sekaligus menjadi gadis kecil yang pertama untuk ayah. Siluet tubuhnya tampak sempurna memeluk lelah di balik layar notebook-ku, sembari jemari ini melukis kata tentangnya, membuatku tampak seperti pelukis handal. Meringkuk adalah caranya bergelut bersama kantuk. Tawa renyah miliknya membuat malam seperti pecundang, meski bulan bintang berusaha keras mempertahankan citranya. Aku takkan lama berbasa-basi. Aku sadar, semeriah apapun kejutan di bulan Juli, tetap tak mampu menggantikan cintamu yang memang tak pernah ingin aku lunasi. Hanya barisan abjad yang tak tahu diri untuk merengkuh kasih sayangmu yang penuh. Hanya paragraf-paragraf usang untuk mengabadikan kebaikanmu hingga tampak antik. Meski begitu, setarik nafas kutiupkan dalam cerita ini. Agar bernyawa, agar menjelma nyata serupa rapalan doa yang dikabul oleh Sang Pemilik Maha. Kau adalah suara dimanapun kau berada. Bagimu, hidup adalah lelucon yang memang terlah

SELAMAT ULANG TAHUN (1)

Gambar
Dari segala hari, memang malam yang paling banyak memberiku ruang untuk melebur dalam kata. Meski tak pernah ku tengok bagaimana situasi malam yang selalu melirik. Tak ada angin malam yang klasik, para bedebah deadline yang sibuk mengusik, sedang tak ingin ku tampik. Tubuhku sudah ingin menyebut namamu, ayah. Hingga tak ku balas lelah yang sudah menggelitik kelopak mata, karena awal rindu perlahan tapi pasti telah menandai pori-pori pergelangan tanganku. Kembali menceritakan tentangmu, agar dunia terus mengingatmu meski nyatanya tak memiliki lupa. Atau mungkin hanyalah alasan bagiku untuk merinci setiap sinar hatimu yang tak pernah selesai aku hitung sampai batas belas usiaku. Ya, memang dirimu tercipta tidak untuk dihitung, karena bagaimanapun memilikimu, aku beruntung. Seminggu setelah hari lahirmu, itulah mengapa lahir pula cerita ini untukmu... Ayah. Adalah satu dari bagian orang tua. Adalah satu dari lengkapnya keluarga. Adalah satu dari syahdunya sajadah. Adalah

We Stood There

Gambar
Terlalu banyak yang kupikirkan tentangmu. Banyak dan acak. Tiap sudut pada persegi empat kamarku tampak hambar namun berputar-putar tak mampu menyusun kepingan-kepingan momen pergerakanku bersamamu. Berlembar-lembar rindu masih terjaga meski malam tak lagi muda. Penuh barisan tanya, kata-kata cinta, dan ribuan penasaran yang selalu berujar 'kau, kau, dan temu'. Mungkin jika mampu bicara, cermin pun akan mengatakan aku ini orang yang membingungkan. Terlalu jahat kusebut dirimu adalah pelarian, yang nyatanya akan menyakitiku (nanti) karena kamu tidak tahu (lagi). Caramu menangkapku sama seperti dia yang ada di seberang pulau ini. Entahlah, atau mungkin aku yang menyerahkan diriku pada tatapanmu, tatapan kita, tanpa sengaja. Sering aku mendapati diri ini di kedua mata itu, hangat dan menenangkan. Aku sadar telah terburu-buru mengatakan ini cinta, terlalu cepat. Padahal boleh jadi ini adalah suka, nyaman yang kuletakkan pada kesan pertama yang kebetulan sama. Aku ingin

Lika Liku Luka

Gambar
Cinta. Aku belum bisa lari kemana-mana selain untuk berbicara tentang-ini. Entah apa yang orang sebut tentang aku yang-belum-bisa-move-on, sedang aku sendiri dalam kebingungan bahwa memang apalagi yang bisa kulakukan setelah bisa-move-on selain kembali lagi berbicara tentang-ini dari sudut pandang yang berbeda. Dari mencari, menemukan, merasakan, melakukan, memikirkan, berjauhan, bahkan sampai ujung yang tidak pernah kudengar semua mengamini yaitu menyakiti, disakiti, dan pisah.  Cinta. Adalah perayaan atas tawa bahagia, sedih dan airmata. Adalah warna dalam gelap; kelabu dalam jingga, hitam dalam secuil putih yang terbentang dan abu-abu dalam biru yang luas. Adalah warna dalam terang; merah dalam pelangi dan jingga menyelimuti matahari. Adalah resah dalam jeda sementara; saat raga tak bersua, mata tak saling bicara, telinga lama tak mendengar desah, dan bibir tak saling merasa. Adalah gelisah dalam jarak. Adalah gunungan sabar dalam kelucuan amarah. Cinta. Bergerak an

Hanya Obrolan Senja

Gambar
Pemimpin visioner, bagaimana menurutmu? Kau bertanya denganku? Kau lihat rumput yang bergoyang itu? Lihat Apa mereka bisa bicara? Tidak Lalu kau lihat kursi yang sedang kau duduki itu? Lihat, bahkan aku bisa merasakan keras kayu jatinya. Nah! Apa dia sedang berbicara denganmu? Tidak. Mana mungkin kursi bisa bicara! Atau mungkin aku yang tidak mengerti kalau kursi ini sedang bicara padaku. Pandai kau! Lalu siapa lagi kalau bukan kau, satu-satunya orang yang ada di sini yang kuharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaanku tadi. Hahaha Ah kawan lama, selalu saja kau sulit diajak berbicara serius Aaaaah kawan lama, selalu saja kau tidak mengenal sifatku. Santailah sedikit... Jangan kau takut-takuti senja, nanti mereka pergi. Kalau mereka pergi, hilang pula jingga. Lantas dengan apalagi aku mencumbu sore jika bukan bersama jingga. Ah, sudahlah hentikan puisimu itu. Aku ingin tahu pandanganmu tentang pertanyaanku tadi.

Kita dan Luka

Gambar
Cinta. Aku belum bisa lari kemana-mana selain untuk berbicara tentang-ini. Entah apa yang orang sebut tentang aku yang-belum-bisa-move-on, sedang aku sendiri dalam kebingungan bahwa memang apalagi yang bisa kulakukan setelah bisa-move-on selain kembali lagi berbicara tentang-ini dari sudut pandang yang berbeda. Dari mencari, menemukan, merasakan, melakukan, memikirkan, berjauhan, bahkan sampai ujung yang tidak pernah kudengar semua mengamini yaitu menyakiti, disakiti, dan pisah.  Cinta. Adalah perayaan atas tawa bahagia, sedih dan airmata. Adalah warna dalam gelap; kelabu dalam jingga, hitam dalam secuil putih yang terbentang dan abu-abu dalam biru yang luas. Adalah warna dalam terang; merah dalam pelangi dan jingga menyelimuti matahari. Adalah resah dalam jeda sementara; saat raga tak bersua, mata tak saling bicara, telinga lama tak mendengar desah, dan bibir tak saling merasa. Adalah gelisah dalam jarak. Adalah gunungan sabar dalam kelucuan amarah. Cinta. Bergerak ant

Penikmat Cinta Mereka.

Gambar
Untuk kalian yang satu, Untuk kalian yang membuat saya utuh, Rumah. Tempat semua kasih sayang melebur meski kau sedang hancur. Tempat yang tak menuntut dibagi cinta karena kau sedang bahagia. Tempat di mana senyum ibumu menjadi sarapan lezat yang bisa kau nikmati setiap hari, keringat ayah yang menjadi bekal makan siangmu di bawah terik, tawa pecah dan teriakan kakak-adikmu bagai tetesan air di pori-pori gurun pasir. Dan semuanya, perpaduan itu membuatmu kuat, membuatmu kenyang dan menjadi sumber energi bahkan ketika ragamu di luar dan tak kau temukan sesuap nasi di dunia yang selalu menyuguhkan kepolosan untukmu. Pada setiap rumah kau 'kan temukan fondasi keluarga. Itulah alasan kau akan pulang. Kau yang percaya jiwa lain di sampingmu adalah keluarga saat itulah kau sudah membangun sebuah rumah dan 1001 alasan untuk pulang. Ada saatnya kau jatuh, dan keluarga bukan untuk itu. Bukan untuk memberikan tangan atau bahunya, menolongmu. Bukan itu. Kau akan bangkit send

Can(rin)du.

Gambar
Rindu ini, Kuletakkan di mana-mana Di udara; setiap tarikan nafasmu Di bawah bantal; memuai dalam mimpi Setelah gelut panjang antara aku dan lelah Sedang mata yang egois tak ingin terpejam Di malam yang selalu saja mencumbui sunyi Sayup-sayup menjelma doa dan airmata. Dan kamu, Entah dalam nafasku yang memburu Atau di sana; pada jarak yang pengecut Dalam sibuk yang membawa kantuk Dalam gerah yang mencumbu lelah Dalam jenuh yang mengelupas amarah, Apapun dirimu, bagaimanapun pergerakanmu, Tak pernah sekalipun... Kau tepis rindu ini Hingga hilang segala kontra tentangmu Luruh bersama cintamu melulu Habiskan logikaku Bagaimana tidak? Kau jadikan bahagiamu adalah aku.

Rindu (me)nanti.

Gambar
Biarlah rindu ini meringkuk, malu-malu di dalam istana yang kusebut doa. sampai kau jemput nanti, pada waktu yang semestinya. tak usah takut dirimu kehilangan syahdunya. jika memang waktunya tiba, 'kan kau rasakan indahnya mengusapmu lembut, setingkat di bawah belaian ibu yang menyentuh nyaman saat kau sakit perut, saat kau hendak tidur dan saat kau mimpi buruk. Pipimu akan membulat, tak kuasa menahan bahagia yang hampir tumpah karena menerima rindu ini. Terlena hingga matamu terpejam karena rindu meniupkan kesejukkan hingga ke relung dada. Hangatnya hampir mengalahkan kecupan kening ayah sebagai pengantar tidur dan kasih sayangnya memanjakanmu bagai dongeng-dongeng yang lebur dalam suara ayah yang menenangkan. Hatimu penuh sesak akan cinta yang kau rasakan dari rindu yang bertubi-tubi memelukmu. Sebabkan percikan kembang api yang indah setara dengan riuh, tawa, dan cerita dari kakak dan adikmu yang tak pernah lekang dalam pagi dan pulangmu. Tetapi semuanya akan n

Ki(cin)ta.

Gambar
Hujan meluruhkan rindu kita ke tanah. Bau tanah terus dipeluk hujan menguap bersama segala alpa, menghilang di udara berdesak-desakkan dengan sedih dan airmata. Aku bersembunyi di balik jaketmu, meski dingin tetap menggelitik pori-pori kita, menumpahkan segala cinta di sela-sela jemariku dan bibir kita yang menyatu. Senyum kita adalah haru yang mesra yang menelanjangi satu per satu kasih sayang dari mata ke mata. Saat ini, cukup dengan begini. Tidak perlu ada kata, peluh dan desah untuk mengaktifkan debar-debar cinta di balik dinding yang kaku dan tampak gelisah karena lama tak kita sapa. Kita adalah bahagia yang ada. Bukan hanya mengejar tawa, tapi juga segala kesal, resah,dan  marah. Kita adalah mahakarya dalam segala cacat yang kita punya, yang tak pernah habis dijelaskan dengan huruf dan angka. Inilah kita. Ada kamu yang terus menciumi ketidaksempurnaanku. Ada aku yang mencandu kebodohanmu. Ada cinta yang melahirkan kita. Ada segala percaya dan menerima yang mengutuki se

Manusia : binatang berdiri.

Gambar
Manusia adalah binatang berdiri, setidaknya itulah asumsi. Bergincu merah pada bibir-bibir tebal di malam hari. Berjas berdasi para lelaki di pinggiran kali. Manusia kadang tak punya harga diri. Lupa memberi harga, tapi terkadang mem bandrol terlalu tinggi. Mengapa seperti itu? Tidak pantas menyebut kita adalah binatang. Baiklah, bagaimana dengan binatang berdiri adalah manusia? Itu sama saja. Intinya kamu menyamakan kita (manusia) sebagai binatang. Bukankah begitu kenyataannya? Terlalu lazim jika saya bilang tingkah laku manusialah yang memaksa saya berkata seperti itu. Tetap saja itu tidak baik. Tandanya kamu tidak bersyukur diciptakan paling sempurna di antara makhluk lainnya termasuk binatang atau hewan lebih halusnya. Kalau begitu saya sebut saja manusia adalah peniru binatang, atau binatang adalah peniru manusia. Manusia sedang meng imitasi kan dirinya seperti binatang, berbulu dan berduri. Sedang binatang meniru manusia,  setia dan peduli. Ya.

DI PERSIMPANGAN ISTIQLAL DAN KATEDRAL

Gambar
Senja sudah habis tertawa pada jalanan yang basah. Entah semesta yang sedang apa atau kita yang mengapa. Aku melangkah cepat sembari memeluk tubuh dengan lengan sendiri. Hangat di dalam mulai terkikis dengan dingin yang mengecupku satu persatu. Melewati gerbang yang kokoh, sekokoh diriku bagaimanapun berkelok-keloknya untuk menujuMu. Mengerjap-ngerjapkan mata, pelan-pelan menerima terang yang menjadi remang di bawah lampu jalan yang perkasa. Peluh cinta masih kurasa sehabis menikmati cahaya indah di dalam rumahMu dengan debar-debar gegas menggebu meneriakkan  takbir demi memenuhi kebutuhan rohaniku yang tak pernah lunas. Tak berapa lama seratus delapan puluh derajat di depanku,  gerbang yang tak kalah kokoh itu berderit sedih kamu tinggalkan. Dengan berlari-lari kecil menyeberangi jalan, kamu menghampiriku. Gerimis ramai-ramai ingin memelukmu dan kamu balas menggoda dengan senyuman itu, melumer di udara yang lembab. Jalanan tak begitu ramai, hanya ada beberapa isinya, mobil-