Hanya Obrolan Senja
Pemimpin
visioner, bagaimana menurutmu?
Kau bertanya
denganku?
Kau
lihat rumput yang bergoyang itu?
Lihat
Apa
mereka bisa bicara?
Tidak
Lalu
kau lihat kursi yang sedang kau duduki itu?
Lihat, bahkan aku
bisa merasakan keras kayu jatinya.
Nah!
Apa dia sedang berbicara denganmu?
Tidak. Mana mungkin
kursi bisa bicara! Atau mungkin aku yang tidak mengerti kalau kursi ini
sedang bicara
padaku.
Pandai
kau! Lalu siapa lagi kalau bukan kau, satu-satunya orang yang ada di sini yang
kuharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaanku tadi.
Hahaha
Ah
kawan lama, selalu saja kau sulit diajak berbicara serius
Aaaaah kawan lama,
selalu saja kau tidak mengenal sifatku. Santailah sedikit... Jangan kau
takut-takuti senja, nanti mereka pergi. Kalau mereka pergi, hilang pula jingga.
Lantas dengan apalagi aku mencumbu sore jika bukan bersama jingga.
Ah,
sudahlah hentikan puisimu itu. Aku ingin tahu pandanganmu tentang pertanyaanku
tadi.
Coba kau tanya
dengan rumput yang tak lagi bergoyang itu?
Aku
tidak mengerti bahasa tumbuhan, lagipula mau sepanjang apapun aku berbicara
rumput-rumput itu tidak akan mampu
menjawab.
Tapi siapa tahu saja
mereka mendengarkan...
Ah
aku tidak butuh mendengarkan, aku butuh jawaban!
Itu sebabnya aku
tidak merespon pertanyaanmu
Kenapa?
Bagaimana kau tahu
jawabanku, kalau kau sendiri tidak ingin mendengarkan
Hahaha.
Baiklah... Lagi-lagi aku kalah berdebat denganmu
Berdebat? Kukira
kita sedang melepas rindu?
Melepas
rindu dengan berdebat?
Kenapa? Apa ada yang
salah?
Bahkan
hampir 12 jam per hari bertemu belum cukup?
Aaah teman kecilku,
masih saja mengagumi kalau rindu adalah perkara jarak.
Sudahlah,
lupakan pertanyaanku tadi. Aku jadi pusing sendiri dengan pembicaraan ini.
Orang tua.
Hah?
Kau tidak mau
mengambilkanku minum? Teh atau susu begitu, aku ini tamu lho! Hahaha
Baiklah,
kau mau apa?
Keduanya.
Oke,
oke siap bos!
Eh tunggu dulu!
Apalagi?
Cemilan? Tidak usah kau ingatkan soal itu. Bahkan kau paling tahu di mana rumah
ini menyimpan cemilannya.
Hahaha. Bisa saja
kau! Selain itu, kau tanyakan saja pertanyaanmu tadi kepada orang tuamu
Ah
sudahlah, aku masuk ke dalam dulu.
***
Bagaimana?
Apa?
Jawaban...
Jawaban
apa?
Jangan sampai kau
kuteriakkan si TOLOL ya!
Hahaha.
Kali ini kau yang kesal. Hahaha. Santailah sedikit, aku malu dipelototi
urat-urat tegang di lehermu itu. Hahaha
***
Amang
sedang tak ada, jadi aku tanya saja dengan ibu
Lalu?
Ibu
bilang tanya saja denganmu, kalau kau suruh aku tanya orang tuaku itu berarti
kau sudah tahu jawabannya, begitu katanya...
Jika kau tanya
pendapatku, ya orang tua itulah jawabannya...
Maksudmu?
Menurutku pemimpin
yang paling visioner adalah orang tua. Mereka sejak merasakan kehadiranmu,
bahkan ketika mereka melihat dua garis sejajar di test
pack. Mereka yang begitu canggih tanpa melihat bagaimana bentukmu sudah
memikirkan hidupmu bahkan sampai sejauh kau masuk perguruan tinggi. Dan
sekarang kau sudah kuliah, mereka ikut memikirkan dan harap-harap cemas
mengenai bagaimana pendamping hidupmu kelak untuk kembali menjadi pemimpin
visioner seperti di umur mereka sekarang ini. Kenapa aku sebut mereka canggih?
Karena mereka menyelesaikan semua tahap tentang dirimu, melewati segala susah
dengan keringat tanpa perlu mereka mengerti apa itu perencanaan secara textbook, tanpa perlu menganalisis SWOT dan
google.
Aku jadi teringat
ayahku, yang sering mengeluh pegal di bahu karena terlalu lama belajar mengetik
dengan komputer, yang ribut bagaimana cara mematikan alarm dan mengatur ringtone handphone dan lebih memilih mesin tik
daripada notebook tetapi mampu membuatku
tenang dengan mengeyangkan perutku. Kemudian ibuku, tidak tahu cara menyimpan
kontak di handphone tetapi bisa memprediksi makanan apa saja yang tidak harus
ku makan agar aku tidak sakit ataupun alergi.
Klise.
Bahkan menurutku, orang tua adalah keajaiban yang sampai sekarang tidak bisa
kujelaskan keindahannya dengan A-Z atau
1-10.
Ya begitulah. Tetapi
setidaknya jika kau menginginkan contoh pemimpin visioner, maka ayah ibumu
lah contohnya, contoh yang paling
mendekati sempurna menurutku. Dan berhubung senja sudah habis, aku ke masjid
dulu. Takut kalau-kalau kau muak melihat wajahku. Hahaha
Baiklah
lepas maghrib datanglah kemari lagi, kita makan bersama.
Tidak usah kau
tawari aku kalau soal itu B)
Komentar
Posting Komentar