DI PERSIMPANGAN ISTIQLAL DAN KATEDRAL



Senja sudah habis tertawa pada jalanan yang basah. Entah semesta yang sedang apa atau kita yang mengapa. Aku melangkah cepat sembari memeluk tubuh dengan lengan sendiri. Hangat di dalam mulai terkikis dengan dingin yang mengecupku satu persatu. Melewati gerbang yang kokoh, sekokoh diriku bagaimanapun berkelok-keloknya untuk menujuMu. Mengerjap-ngerjapkan mata, pelan-pelan menerima terang yang menjadi remang di bawah lampu jalan yang perkasa. Peluh cinta masih kurasa sehabis menikmati cahaya indah di dalam rumahMu dengan debar-debar gegas menggebu meneriakkan  takbir demi memenuhi kebutuhan rohaniku yang tak pernah lunas.

Tak berapa lama seratus delapan puluh derajat di depanku,  gerbang yang tak kalah kokoh itu berderit sedih kamu tinggalkan. Dengan berlari-lari kecil menyeberangi jalan, kamu menghampiriku. Gerimis ramai-ramai ingin memelukmu dan kamu balas menggoda dengan senyuman itu, melumer di udara yang lembab. Jalanan tak begitu ramai, hanya ada beberapa isinya, mobil-motor-pejalan kaki yang semuanya tampak cepat dan tergesa-gesa. Kita berjalan sedikit ke persimpangan jalan sehingga dapat melihat langsung dua bangunan yang tak jarang kita sebut sebagai something, karena keduanya lebih dari sekedar napas untuk kita. Duduk di pinggiran pagar, menertawai kejahatan malam yang menyekap bulan dan bintang. Seperti biasa, aku membuka hijab yang kukenakan ketika mentoring selesai. Aku belum sepenuhnya berhijab, setidaknya hatiku belum. Bahkan pancasila pun aku tak mengerti untuk apa, ketika lembaran-lembaran berangka milik orang-orang di gedong sana mampu menampari kita dengan leluasa. Sudahlah... Aku tidak mengenal mereka, peduli apa.

Tanganmu mencegahku. Dengan lembut, selalu dengan lembut, suaramu mencipta warna baru dalam hatiku, bahkan lebih dari mejikuhibiniu.

Tidak usah dibuka, anggap saja malam ini latihan diperpanjang sampai rumah. Kamu gak mau 'kan kubah cantik itu menikmati mahkotamu yang indah. Telunjukmu mengarah ke bangunan putih itu.
Kalau boleh jujur, kamu tidak cantik dengan hijab ini, tapi kamu lebih dari itu. Kamu indah. Ya, kamu indah. Ah,aku tidak pandai berkata-kata. Sambil mencubit hidungku, gemas.

Bagaimana denganmu? Apa kamu mengenalkanku pada mereka?

Setiap saat aku bercerita dengan mereka, selalu ada kamu dalam percakapanku. Denting bel ramai-ramai ingin mendengar tentang kamu, berbeda sekali dengan kursi-kursi panjang yang sabar menunggu ceritaku. Bahkan Bapa dan Bunda sudah mengenalmu banyak. Dan aku tau kamu mendoakanku.

Bagaimana kamu tau?

Aku sudah rasakan hangatnya di sela-sela lipatan tanganku.


Dan seperti semesta sudah mengaturnya, kita terdiam. Saling mencari kita pada kedua bola mata, saling menerima hangat pada angin yang mendekat, saling berkata-kata cinta pada udara yang mengaliri sampai relung dada. Sampai bis tingkat terakhir datang, memaksa kita kembali mendaur rindu yang kita letakkan di bawah bantal. Kamu berlarian seperti anak kecil mengejar balon terbang, aku yang berjalan di belakangmu hanya menyimpul senyum melihat tingkahmu sembari memasukkan injilmu ke dalam tasku. Dasar pelupa...

Komentar