Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2013

Kamu Menarikku ?

Untuk kamu, yang sudah beberapa minggu ini berhasil mencuri perhatianku. Kita tak pernah benar-benar dekat dan kamu tak pernah tahu bahwa diam-diam ada sosok yang sering mencuri waktu, mencuri pandang padamu ketika dosen menjelaskan, ketika kelas hening begitu serius. Kita tak bermasalah dengan jarak, tapi nyatanya apalah arti dekat ini ketika hanya diam yang bisa kita sampaikan setiap hari. Kamu selalu menunduk, dan aku selalu menatap. Bisa kamu lihat? Sepertinya hanya aku yang takut kehilangan kamu, luput dari pandanganku. Kamu berhasil mencuri sebagian diriku singgah di kamu. Memaksaku setiap hari mencuri-curi perhatian padamu, melewati jarak beberapa kursi. Aku yang selalu duduk di depan, dan kamu diam tenang di belakang. Kamu berhasil membuat ku bingung dengan diriku sendiri. Di dekatmu aku tak mengenal diriku sendiri. Ada perasaan canggung yang mengalir, menghantam dadaku bertubi-tubi membuatku sesak dan menggelitik hatiku. Aku begitu diam ketika bersamamu walau lebih sering

Tidurlah, Sayang

malam... larutnya menunggumu lelap, memeluk nyenyak. tidurlah...pagi hangat menunggu senyummu. Jangan sampai mentari mengabaikanmu seperti yang kamu lakukan kepadaku hanya karena kamu sakit. Ketika kamu sakit, akan ada seseorang yang rela membagi dua pikirannya, memikirkan kamu dan memikirkan dirinya sendiri yang berjuang untuk masa depannya, berlagak kuat seperti elang dalam pendidikannya. Padahal banyak kekhawatirannya yang tumpah dalam keletihannya, banyak perhatiannya yang terabaikan, terbuang, tak terjamah, dan terpaksa terpendam. Tak berkutik karena jarak membunuhnya. Lalu harus bagaimana menyampaikan kekhawatiran ini, perhatian ini ? Yang bersatu bersama ketulusan ingin merawatmu, memapahmu untuk berdiri, kalau nyatanya berantakan dalam hati dan pikirannya. Hanya itu, tak terungkap. Maka dari itu, ayolah~ jaga kesehatanmu. Perempuan itu, di sini, aku tak ingin lebih dan lebih lagi melalui hari seperti orang bodoh. Ingin menjadi dokter ataupun suster tanpa pasien. Cukup jara

Sisakan Kamu Dalam Kenangan Kita

Karena hanya dengan tulisan aku bisa bertemu denganmu, walau itu bayangan. Karena hanya tulisan yang mampu membuat kita, aku dan kamu, terperangkap dalam kenangan. Hanya aku kok, yang merasa, pasrah menerima, karena hanya dengan inilah, kamu tidak hilang, walau tak pernah utuh, walau sulit membuatnya nyata. Kamu senyata-nyatanya di sana yang tak pernah bisa aku raih, dengan tulisan inilah kamu menjadi sesuatu yang nyata yang dapat kuraih. Sesuatu yang sebenarnya tak nyata ini bahkan kamu abaikan, kamu anggap tak ada. Aku tahu kamu sedang belajar tega. Kamu berhasil. Ini menyakitkanku. Kecewa. Benar-benar fatal! Bisa-bisanya aku menjadikanmu harapan, dulu. "membiarkan masa lalu pergi agar kita bisa mendapat hal yang lebih baik"--kamu. Aku mengerti kamu sudah mengikhlaskan. Itu baik, karena ikhlas melepas belum tentu melupakan. Terlihat sekali betapa egoisnya aku. Tidak bisa menerima kamu yang sudah berhasil melepas semuanya, sedangkan di sini aku seperti orang kelaparan,

Kau Cantik Hari Ini

Setiap hari kamu berhasil membuatku terpana, hari ini begitu. Kamu datang terlambat, tidak lupa kamu ucapkan salam kepada kita semua. Permisi dan mencium tangan dosen begitu hormat layaknya ibumu. Baju koko. Itu yang membuatku semakin tak mengerti dengan hari-hari yang kujalani jika ada kamu. Aku memang suka dengan pria yang menggunakan baju koko, peci, sarung dan sebagainya. Menurutku itulah saat di mana inner beauty seorang pria benar-benar nyata ke permukaan. Tapi kamu, benar-benar membuatku suka! Berhasil membuktikan atas pendapat yang selama ini kupendam. Baju koko lengan pendek merah marun dengan corak di sekitar leher. Ah… kenapa bisa kamu seperti ini. Membuat perutku mendesir ketika melihat utuh ragamu. Dengan intonasi lembutmu, suaramu menjadi tambahan dalam balutan tubuhmu, dirimu yang menjadi pas, tak kurang tak lebih di mataku. Sayang, hari ini begitu cepat berlalu. Seperti waktu yang yang setuju tatapanku yang berlama-lama ke arahmu. Jum'at, tengah hari, mungkin s

Suaramu

Tidak usah ragu. Padahal dari awalnya, kamu telah sadar,  lampiaskan saja kekesalanmu itu. Di depanku. Daripada harus menghilang, menghindar kejam, membuat aku mencari-cari. Dari apa yang kulihat, perhatianku yang masih berhasil kamu curi, kamu sudah tinggalkan semua. Sampai lupa mengajariku agar bisa secepat kamu, melupakan, meninggalkan semuanya yang dulu ada dan kita harap akan berlanjut. Aah, suaramu. Tiba-tiba aku teringat suaramu yang lembut, yang intonasinya bisa kau tempatkan sesuai situasi. Kamu bisa berbicara keras dengan teman-teman laki-laki mu, tapi ketika dengan wanita, begitu juga aku. Kamu bisa melemahlembutkan suaramu. Membuatnya menjadi sesuatu yang memang harus diingat bukan untuk ditinggalkan. Suaramu menjadi begitu penting untukku. Menggantikan ragamu yang tak lagi utuh, pergi menjauh dari hadapanku. Suaramu menjadi satu-satunya yang tersisa, yang hadir liar ketika kamu kurindukan. Kenangan suci yang tidak bisa aku lupakan. Kamu tau? Yang paling kuingat ketika

Perpisahan Ini Halal Untuk Kita

Bisakah kalian diam! Kalian membosankan! Kalian tidak peduli dengan perbedaan ini. Kalian mengerti, tapi kalian tak benar-benar memahami dan menerima perbedaan ini. Bahkan kalian mengunci kami dalam perpisahan. Kalian benar. Hanya saja aku belum bisa menerima ini sebagai takdir untuk kita, aku dan kamu. Perpisahan yang datang begitu saja dan pergi begitu tega membawamu. Ini salah. Cobalah untuk tidak egois wahai diriku, yang masih berharap kita utuh. Berdiri paling depan dan mengharamkan perpisahan untuk mendekati kita. Tapi nyatanya ? Perpisahan menjadi halal untuk ini semua. Perasaan ini tidak salah, hanya saja kenapa kita biarkan tumbuh pada awalnya. Kita tanam dan kita biarkan diri ini menuai kepingan durinya, begitu bodoh. Jujur, aku tak menyukai bagaimana kita berpisah. Caranya, strukturnya, prosedurnya atau apapun itu bahasa kakunya. Perpisahan ini begitu sepi. Perpisahan yang kita pasrahkan kepada waktu. Perpisahan yang datang tanpa salam dan pergi tanpa pamit. Cara in

Penyesalan Ini Belum Usai

Andai waktu dapat diputar kembali dan kamu terlahir bersama keyakinanku. Kalau di luar  perbedaan yang kita alami harus berhenti terpaksa, keluarga dan teman, tapi tidak dengan kita. Banyak yang mendukung kita, namun justru kita yang berhenti lelah terhempas. Kita tak ingin saling menyakiti terlalu jauh. Kita sadar telah salah untuk memulai. Reaksi mereka ketika tau kita tak lagi ada. Mereka, teman-teman kita, sedih seakan ini adalah hubungan mereka. Terlihat wajah lelah mereka yang telah begitu peduli dan bahagia menyatukan kita. Kita membalas mereka dengan cara yang begini. Nanti, mereka akan sadar ini salah, semakin diteruskan, semakin kita saling menyakiti masing-masing dan semakin lama untuk menyembuhkannya. Sering terpikir, andai kita sama, andai bukan kita yang mengalami ini, mengalami perbedaan ini. Apa sekarang kita masih ada? Sebenarnya lelah terus membicarakan ini. Tapi kamu masih saja hadir dalam mimpiku, membayangiku. Kamu belum bisa pergi dari pikiranku, mungkin kam

Kamu Yang Semester 1 Kubenci, Begitu Kusukai Di Semester 3

Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan aku dan kamu, yang bahkan belum menjadi kita. Mungkin lebih tepatnya aku, hanya aku yang memiliki perasaan ini, entahlah dengan kamu. Kita dekat namun jauh. Sulit untuk menggambarkan apa yang terjadi, tak dapat dikatakan melalui ucapan. Hanya tulisan inilah yang mewakili, kata-kata yang mengalir pelan seiring dengan perasaan ini yang semakin dan semakin untuk kamu. Begitu seringnya kita bertengkar tapi tak hebat di semester 1, hanya godaan godaan mahasiswa, namun sometimes membuatku marah, sebal, kesal dan tak ingin berbicara denganmu. Tapi mengapa dengan semester ini, semester 3 ini ? Mengapa kamu menjadi alasan begitu panjangnya malamku, menanti pagi menghangatkan tubuhku bersama senyummu. Kita tak sedekat dulu, tumbuh jarak yang kusebut canggung. Kamulah alasannya, lahirnya gugup ini ketika ku bersamamu. Menjadikanku seseorang yang begitu sering tersenyum tanpa sebab. Kamu mulai hadir dalam mimpiku, mulai menggelitik hatiku membawa rindu

Kita

Kita memang tak ada. Tak ada lagi. Tapi di sini, bersamaku, aku masih bercerita tentang kita. Egois memang. Aku tak menginginkan kita pergi. Walau hanya bayangan, tak nyata dan apapun itu yang orang katakan. Aku tak peduli. Mereka tak mengerti tentang kita. Akulah yang menghidupkannya, membuatnya tetap ada meskipun hanya untukku. Bahkan kamu pun tidak tahu kita masih ada. Aku menyimpannya dalam hatiku. Aku melanjutkannya, dengan anganku yang dahulu ingin kuwujudkan bersamamu walaupun waktu berkata lain. Aku tak marah. Justru sekarang aku ingin bilang kepadamu bahwa kita masih ada, walau di sini hanya aku yang berjuang. Mungkin dengan kejujuranku saat ini, kamu mau berjuang bersamaku di sini untuk kita ? Entahlah… apa bisa ? Karena dulu kita yang memutuskan untuk pergi dan berhenti. Kita berdua. Karena kenyataan yang tak menginginkan kita. Karena kita berbeda dalam sama. begitu rumit perbedaan ini. Kau bisa membuatku menjadi penting, tapi aku tak bisa menjadikanmu sebagai imamku. Maafk

Kamu Menyapaku

Aku merindukanmu. Satu hal yang baru kusadari siang ini, di ujung waktu zhuhur yang begitu menyilaukan. Merindukanmu membuatku kembali teringat, ah, mungkin lebih tepatnya mengingat karena aku memang sengaja ingin melihat wajahmu dalam anganku. Aku mengingat bentuk perhatianmu yang kau siratkan dalam kemarahan ataupun kekesalanmu. Kau tunjukkan itu semua dalam sapaan maya mu, sms darimu. Aku suka pertanyaan-pertanyaan basimu, menanyakanku sudah makan, sedang apa, bla bla bla. Tapi kau tak pernah mendapat jawaban atas pertanyaanmu, haha, maafkan aku yang tidak pernah serius membalas pesan singkatmu. Satu hal yang kusukai dari pesan singkatmu, kau menyapaku. Kau benar-benar menyapaku. Di saat aku sendirian menunggu sesuatu kau menyapaku untuk mengusir kebosananku. Di saat aku sendiri dalam ketakutan kau hadir menyapaku sekedar mengalihkan perhatianku. Di saat malam datang bersama kewajiban-kewajiban yang belum kuselesaikan, kau datang menyapaku, menyemangatiku, . Ketika malam semaki

LENSA

Kamu tidak pernah menjadikanku objek lensamu Tapi kamu…kamu… kamu menjadikanku pendampingmu Menemanimu disaat kamu sedang membidik kameramu Kau menjadikanku penting, aku suka senyum mu saat kau meminta pendapatku tentang hasil fotomu Kau tak pernah suka objek manusia, kau pernah bilang alasannya padaku, ah, maafkan aku, aku lupa apa katamu… Tapi intinya kau tak pernah memilih objek itu karena kau sulit memasukkan 'feel' ke dalam gambarmu. Kau lebih suka mengabadikan keindahan tanah airmu, yang kupikir mungkin ini kau lakukan karena tidak selamanya ibu pertiwi akan seindah ini. Aku suka ketika kita tertawa membicarakan tentang gambarmu. Aku lebih suka menyebut 'gambar' daripada 'foto', bukan masalah kan sayang ? Terlalu dan sudah berlalu aku memanggilmu sayang, bahkan saat perasaan ini belum sempat meng-kongkretkan-nya dalam sebuah suara. Aku suka gerak-gerikmu saat berbagi denganku, berbagi tentang sesuatu yang kau sebut hidupmu-hobbymu-kesukaan

SELESAI ?

Sudah ? Memang sudahlah selesai Sekarang berjalan namun sendirian Membiarkan masing2 tersiksa karena nyatanya 'segalanya' masih ada. Sebahagia apa dulu sehingga sekarang pasrah menyiksa masing2 ? Apa sudah begitu tangguh ? Sombong! Kenapa harus memaksa ? Berpisah ? Apa benar itulah niatnya ? Sakit. Bodoh! Membiarkan masing-masing sakit padahal berdua dapat menjadi obat. Kenangan menyiksa menjadi racun dan tega membiarkan diri sendiri menjadi satu-satunya penawar Hei! Akulah perempuan yang biasa kau tambahkan 'ku' dibelakangnya Dimanapun kapanpun apapun itu tak pernah  berubah Kau ingin semua tau kamu bukanlah kamu jika tanpa aku Ah! Secarik kenangan kembali kuulang dalam tulisan ini Sesak, tertatih susah payah harus kembali, sadar bersama kenangan2 itu Waktu ? Apa yg dapat dia berikan ? Membuat 'kita' ? Ya, kita! 'kita' kembali ada. Apa bisa ? Menyedihkan rasanya harus mencoba moveon yang tak pernah benar-benar member

KETIKA

Ketika menatap Ketika bibir terkatup, tak mampu berucap Ketika dia menyadari Terlihat, namun tetap meninggalkan Ketika tumbuh, sesak menjalari Merobek lembut, menguap ketidakberdayaan Ketika hati memilih benci Menyatu dalam kebersamaan yang buta Ketika hati telah terpaut Benci seakan menjadi rusuk terakhir Mengisi Menguasai hingga lupa Menutup keindahan-Nya yang lain Silih berganti Ketika mati karena benci sendiri...

Kerinduanku, untuknya, karena-Mu

Le lah, melewati hari bersama kegelisahan Ketika malam menghampiri bersama kerinduan Begitu kuat, mampu membelenggu hati Tak terusik, menya kitkan Kepadanya, kerinduan meracuni Menjerit namun hebat ditelan oleh kesunyian malam Luar biasa, tak terdengar betapa malam begitu jahat Menguasai jeritan hati, merindu Sampai nafas memburu, membawa air mata menyelimuti diri Terhempas, duduk berdua-duaan bersama-Nya Mengalirkan ketidakberdayaan, " Ya Rabb, Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang begitu cepat diri ini dikuasai kerinduan yang menjejaki tanpa nama-Mu Pantaskah hamba memiliki, menyentuh kerinduan ini Ampuni hamba yang telah lupa, begitu erat menggenggam kerinduan ini, jauh berlari dari Pencipta Kerinduan, Ya Rabb Maha Pengampun Kerinduan ini Menandai, menjejaki diri  tak memberi keindahan Memberi ruang keraguan Tak sadar diri mengharap, tak berdaya meminta Ya Rabb, tetapkan diri ini merindu kepadanya karena kumerindu-Mu Agar r