Manusia : binatang berdiri.
Manusia adalah
binatang berdiri, setidaknya itulah asumsi. Bergincu merah pada bibir-bibir
tebal di malam hari. Berjas berdasi para lelaki di pinggiran kali. Manusia
kadang tak punya harga diri. Lupa memberi harga, tapi terkadang membandrol terlalu tinggi.
Mengapa
seperti itu? Tidak pantas menyebut kita adalah binatang.
Baiklah,
bagaimana dengan binatang berdiri adalah manusia?
Itu
sama saja. Intinya kamu menyamakan kita (manusia) sebagai binatang.
Bukankah
begitu kenyataannya? Terlalu lazim jika saya bilang tingkah laku manusialah
yang memaksa saya berkata seperti itu.
Tetap
saja itu tidak baik. Tandanya kamu tidak bersyukur diciptakan paling sempurna
di antara makhluk lainnya termasuk binatang atau hewan lebih halusnya.
Kalau begitu saya
sebut saja manusia adalah peniru binatang, atau binatang adalah peniru manusia.
Manusia sedang mengimitasikan dirinya
seperti binatang, berbulu dan berduri. Sedang binatang meniru manusia, setia dan peduli. Ya. Tetap saja manusia
lebih hebat, berakal dan berhati nurani. Ya. Meski tidak digunakan setiap hari
untuk mengasah budi pekerti.
Frekuensi manusia
bergerak adalah kadang-kadang. Kadang benci, kadang marah, kadang tidak peduli,
kadang begitu manis, kadang tak ingin menghibur, kadang ingin dihibur, kadang
sedih melihat bahagia, kadang bahagia melihat sedih, kadang bla bla bla dan bla.
Dari semuanya, ka-dang menyerupai binatang. Menjilat dan mencuri,
keluarga-teman tidak peduli. Siklus hidup manusia adalah searah, setidaknya
untuk dirinya sendiri. Yang baik-baik harus searah dan terarah kepadanya. Harus
yang paling cantik, harus yang paling kaya, harus yang paling pintar. Lupa
salah dan tidak terima kalah. Sedang yang jelek-jelek tentulah harus berlawanan
arah dengannya. Lebih baik berpindah-pindah cari hepi
daripada harus bersusah diri menghibur orang lain bersedih. Sibuk menerka-nerka
tapi lupa untuk peka. Saling rebutan seperti serigala dan singa, saling
menjilat seperti anjing, saling sikut dan mencakar seperti kucing, saling
meninggalkan seperti burung, dan saling-saling
lainnya. Dan kini binatang yang meniru manusia. Setia dan peduli. Lembut
penyayang seperti ibu peri.
Aku
di sini, diam, melihat sambil berdiri. Mana yang harus diikuti, manusia atau
binatang. Manusia dengan sifat kebinatangannya, itu pasti. Meski sempurna,
tetap saja ada salah karena goda. Bahkan itulah sebab Nabi turun ke bumi.
Lagi-lagi manusia, bukan begitu?
Komentar
Posting Komentar