Kita dan Luka
Cinta. Aku belum
bisa lari kemana-mana selain untuk berbicara tentang-ini. Entah apa yang orang
sebut tentang aku yang-belum-bisa-move-on, sedang aku sendiri dalam kebingungan
bahwa memang apalagi yang bisa kulakukan setelah bisa-move-on selain kembali lagi
berbicara tentang-ini dari sudut pandang yang berbeda. Dari mencari, menemukan,
merasakan, melakukan, memikirkan, berjauhan, bahkan sampai ujung yang tidak
pernah kudengar semua mengamini yaitu menyakiti, disakiti, dan pisah.
Cinta. Adalah
perayaan atas tawa bahagia, sedih dan airmata. Adalah warna dalam gelap; kelabu
dalam jingga, hitam dalam secuil putih yang terbentang dan abu-abu dalam biru
yang luas. Adalah warna dalam terang; merah dalam pelangi dan jingga
menyelimuti matahari. Adalah resah dalam jeda sementara; saat raga tak bersua,
mata tak saling bicara, telinga lama tak mendengar desah, dan bibir tak saling
merasa. Adalah gelisah dalam jarak. Adalah gunungan sabar dalam kelucuan
amarah.
Cinta. Bergerak
antara memiliki dan tidak memiliki. Harus dimiliki meski tak memaksa untuk
memiliki. Cinta. Adalah hasil matematika; pembagian. Ada cinta dia yang mesti
dibagi; keluarga dan kerja. Dan kau adalah hasil cinta di antara mama-papa dan
kertas dan pena. Dalam sepanjang senja meringkuk dan terang kembali memeluk,
tak pernah "pernah" kudapati kau tanggapi tentang-ini dengan dewasa.
Dan karena ini, aku di sini. Di balik pintu yang berdebu, luruh dalam airmata
dan kelabu yang menyeluruh. Sedang abu-abuku; kamu, di balik daun-daun yang
jatuh, hijau yang layu, menyentuhku dalam cahaya mata bukan suara.
Aku tau kau di sini,
betapapun kau pernah menjadi udaraku. Meski sekarang tak sejengkal pula kakimu
menyentuh tanah yang lain, tetapi aku tau di sana kau memperhatikanku. Berdiri
di balik daun-daun yang akarnya lahir dari genggaman tangan, usapan keringat
dan senyum kita; dulu. Tak pernah
terpikirkan sebelumnya, aku mendapati wajah itu; garis-garis lelah mengejar
segala rela untuk melepas, menggumpal airmata yang kau timbun bagai harta,
bermain dalam pikiranmu, meratapi dunia dalam matamu yang sekarang sampai nanti
tak kaudapati lagi senyum dan peluknya; aku.
Saat segala akhir yang kita kutuki, ujung yang tak pernah kita amini itu
menghampiri, per-pisah-an. Penyelesaian yang berjalan tak pasti, membuat kita
terbiasa menikmati sedih hingga luruh kata sakti dalam sesak hati. Sekujur
tubuh tak lagi bicara perih, luka mendadak geli, dan hari menghidupkan kembali
mati. Begitu bodoh, sampai diri terbiasa menikmati sakit hati.
Komentar
Posting Komentar