We Stood There
Terlalu banyak yang
kupikirkan tentangmu. Banyak dan acak. Tiap sudut pada persegi empat kamarku
tampak hambar namun berputar-putar tak mampu menyusun kepingan-kepingan momen
pergerakanku bersamamu. Berlembar-lembar rindu masih terjaga meski malam tak lagi
muda. Penuh barisan tanya, kata-kata cinta, dan ribuan penasaran yang selalu
berujar 'kau, kau, dan temu'. Mungkin jika mampu bicara, cermin pun akan
mengatakan aku ini orang yang membingungkan. Terlalu jahat kusebut dirimu
adalah pelarian, yang nyatanya akan menyakitiku (nanti) karena kamu tidak tahu
(lagi). Caramu menangkapku sama seperti dia yang ada di seberang pulau ini.
Entahlah, atau mungkin aku yang menyerahkan diriku pada tatapanmu, tatapan
kita, tanpa sengaja. Sering aku mendapati diri ini di kedua mata itu, hangat
dan menenangkan.
Aku sadar telah
terburu-buru mengatakan ini cinta, terlalu cepat. Padahal boleh jadi ini adalah
suka, nyaman yang kuletakkan pada kesan pertama yang kebetulan sama. Aku ingin
cepat bertemu, dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan nafasmu. Temponya begitu
genit memaksaku ingin terus berada di dekatmu. Rambut ikalmu selalu minta
disentuh saat aku kembali bertemu dengan tatapan itu. Kau selalu membuat saraf
motorik di wajahku bekerja tanpa kendali. Dengan barisan gigi yang tak rapi,
ditambah bibir yang jauh dari kata
'seksi', aku mampu memberi sabit untukmu yang berdiri tepat di depanku.
Aku tidak pernah
sebahagia ini bersama sepi. Aku tidak pernah merasa begitu syahdu bersama
sendiri. Tidak sampai hari ini. Meski hanya sekilas, kembali tenggelam dalam
tatapan itu. Meski detik berikutnya tetap kau buat sepi, tapi kita bertemu. Tak
apa senyumku tak mampu berfantasi waktu dapat berhenti, karena hari telah
memberiku kado spesial detik seperti ini 'kan terulang kembali.
Berlembar-lembar rinduku berirama, selalu berakhir menjadi lagu cinta dalam
malam yang dibalut nostalgia. Perkara saling tatap yang kutular melalui mata
tanpa kata menjadi sepi bergairah saat bulan beranjak dewasa. Hanya senyum,
saling tatap bahkan memperhatikan diam-diam, seperti anak TK yang belajar jalan
di tempat. Susah, tapi semangat menggemaskan. Kita sama-sama belum berpikir
untuk maju, memindahkan partitur cinta
ke arah angin selanjutnya.
Meski terburu-buru,
aku menganggap semua adalah tepat kusebut cinta. Karena bagiku cinta adalah
mengalami. Urusan kita tak saling kenal, aku terlalu pengecut menyerahkannya
kepada waktu. Saling memberi cinta tanpa harus melewati batas identitas diri.
Yang kutahu untuk saat ini, kita cuma mengalami. Karena tak saling kenal, kita
mencintai. Mencintai dalam bebas dan abstrak yang menjadi kejutan kita setiap
hari, mencintai rasa penasaran yang bergerak begitu elegan dari hati ke hati.
"pelarian" hanyalah perkara "pada awalnya", karena
seterusnya aku percaya cinta adalah nama yang kita beri.
Komentar
Posting Komentar