MENYELAMI DELAPAN PULUH HARI
Biarlah malam yang
patah,
Sedang aku, kau
bilang adalah rumah untuk dadamu yang lelah. Pelukanku ada pulang untuk
punggungmu yang ingin rebah. Aku terlalu lemah, tak bisa menolak
lengan-lenganmu yang merengkuh pasrah.
Biarlah malam yang
resah,
Segala desah dan
detak di nadi kita membuat malam semakin jalang. Senja dikubur begitu cepat
hingga garis petang yang tak ingin kita pulangkan justru hilang. Hujan dan dingin didatangkan, namun buat
kita, segala berisiknya adalah gurauan para bintang.
Terkadang aku
menunggu, sisa-sisa parfum dalam dekapmu.
Terkadang aku
merindu, kau mabuk cepat-cepat mengecup keningku seraya bilang, "aku cinta
kamu", seperti dulu bagaimana kita bertemu.
Waktu
itu, aku termangu, hanya memperhatikan wajahmu yang semakin malam semakin layu,
terjebak dalam pundakmu yang lelah. Kau ucapkan tiga kata itu kembali karena
kau heran masih tak mendengar jawabanku. Aku sibuk sendiri, mencoba melerai
pikiran dan hati yang saling berteriak di tubuh ini. Kau tahu, aku pernah
berkata kalau apa yang diucapkan orang yang sedang mabuk adalah jujur apa yang
sedang dirasakannya. Namun sekali lagi, aku mencoba menepis kata karena saat
itu aku belum benar-benar sembuh dari luka.
Cinta
kita adalah perayaan atas segala luka dan madu, hingga mencandu menjadi alasan bahagia antara
memiliki aku dan kamu. Amarah malam telah padam, berganti haru dan malu-malu.
Puisi-puisi biru kini berganti doa-doa rindu di saat tubuh saling menjauh, di
saat mimpi-mimpi tak lagi dapat menjamu. Dan
malam ini, kita berjalan saling memiliki lewat delapan puluh hari. Segala alpaku telah kau terima dan setia darimu aku
jaga. Kita adalah perjalanan dalam dimensi waktu yang terkadang bertubi-tubi
dililit sendu. Namun senja yang kita bawa, membuat aku percaya bahwa kita akan
tetap saling mencinta tanpa kata dan tanda tanya.
Komentar
Posting Komentar