Ki(cin)ta.




Hujan meluruhkan rindu kita ke tanah. Bau tanah terus dipeluk hujan menguap bersama segala alpa, menghilang di udara berdesak-desakkan dengan sedih dan airmata. Aku bersembunyi di balik jaketmu, meski dingin tetap menggelitik pori-pori kita, menumpahkan segala cinta di sela-sela jemariku dan bibir kita yang menyatu. Senyum kita adalah haru yang mesra yang menelanjangi satu per satu kasih sayang dari mata ke mata. Saat ini, cukup dengan begini. Tidak perlu ada kata, peluh dan desah untuk mengaktifkan debar-debar cinta di balik dinding yang kaku dan tampak gelisah karena lama tak kita sapa. Kita adalah bahagia yang ada. Bukan hanya mengejar tawa, tapi juga segala kesal, resah,dan  marah. Kita adalah mahakarya dalam segala cacat yang kita punya, yang tak pernah habis dijelaskan dengan huruf dan angka.

Inilah kita. Ada kamu yang terus menciumi ketidaksempurnaanku. Ada aku yang mencandu kebodohanmu. Ada cinta yang melahirkan kita. Ada segala percaya dan menerima yang mengutuki segala pisah. Dan sekarang ada hujan sedang mengamati kita. Saling menanggalkan rindu dan membunuh sibuk dalam hangat yang kusebut kamu, dalam pulang yang kau sebut aku. Peluk kita adalah mengamini segala doa yang tak pernah bosan berujar 'kau, kau, dan temu'. Sekarang kita berdansa, aku tak pernah mengerti tentang ini kau pun begitu. Tetapi alam adalah alat musik yang berkuasa menuntun kita dari tak bisa menjadi luar biasa, tak peduli fantasi atau nyata.

Meski malam tak lagi muda dan hujan masih singgah lebih lama, kita tetap berdansa. Lagi, sepotong cerita kita cipta. Sebagai perekat ketika ragu mulai membabi buta. Kita berhenti tepat di saat aku jatuh ke dalam pelukanmu. Di sana, kutemukan sabar yang menggunung atas segala keras kepala dan egoku. Kau belai rambutku, ada segala maaf pada setiap helai yang kau sentuh yang kuberi untuk kekhilafanmu. Kita memejamkan mata sejenak, saling menikmati aroma tubuh sebagai amunisi di saat rutinitas dan penat sudah semakin lekat. Ritme sepatu dan kecipak air di jalanan tertawa kita permainkan, atau mungkin tertawa melihat kita begitu canggung melepas rindu yang tumpah ruah tak karuan bersama kesalahpahaman dan segala cemburu di waktu yang dulu.

Kita saling menghasut untuk memusuhi kata benci, seperti anak usia lima, meski di tempat yang tak sama. Lebih memilih berteman dengan kesetiaan dan bertahan tak peduli bagaimana pekatnya tinta pulpen dan tebal tumpukan laporan yang menghimpit, bertahan pada baik buruk, lebih maupun kurang. Kita bukanlah pengagum romantisme penuh skenario. Setangkai mawar merah, penutup mata, candle light dinner, dan barang-barang dengan rupa-rupa yang lucu ataupun menyilaukan. Romantisme kita adalah kekhawatiran. Saat di mana tumpukkan kertas yang menunggu untuk disentuh justru kaku melihat kita mondar-mandir di ruang kantor, saling memikirkan, bagaimana makan siangmu? Apa kau membawa payung? Di luar sedang hujan, berhati-hatilah, bla bla bla dan bla.


Tak pernah kita pikirkan orang-orang di luar sana mau bilang apa, anggap ini berlebihan dan mengada-ada. Kita terlalu sibuk untuk kita. Survive untuk cinta dengan menjaga dan memegang erat apa yang telah kita tangkap, karena kita bukanlah orang-orang yang mudah melepaskan. Kita terus merajut untuk akhir dengan rasa penasaran di setiap rajutannya, bagaimanapun, akhir adalah mahakarya dari Sang Pencipta.



Komentar