SELAMAT ULANG TAHUN (1)
Dari segala hari,
memang malam yang paling banyak memberiku ruang untuk melebur dalam kata. Meski
tak pernah ku tengok bagaimana situasi malam yang selalu melirik. Tak ada angin
malam yang klasik, para bedebah deadline yang sibuk mengusik, sedang tak ingin
ku tampik. Tubuhku sudah ingin menyebut namamu, ayah. Hingga tak ku balas lelah
yang sudah menggelitik kelopak mata, karena awal rindu perlahan tapi pasti
telah menandai pori-pori pergelangan tanganku. Kembali menceritakan tentangmu,
agar dunia terus mengingatmu meski nyatanya tak memiliki lupa. Atau mungkin
hanyalah alasan bagiku untuk merinci setiap sinar hatimu yang tak pernah
selesai aku hitung sampai batas belas usiaku. Ya, memang dirimu tercipta tidak
untuk dihitung, karena bagaimanapun memilikimu, aku beruntung.
Seminggu setelah
hari lahirmu, itulah mengapa lahir pula cerita ini untukmu...
Ayah. Adalah satu
dari bagian orang tua. Adalah satu dari lengkapnya keluarga. Adalah satu dari
syahdunya sajadah. Adalah satu menjelma suami dan ayah. Adalah penuh tanggung
jawab, tak pernah tanggung dan selalu menjawab, bagaimana aktifnya bibir-bibir
mungil yang menyebut panggilanmu belum terampil, kaki-kaki kecil yang
menggeliat pertama kali merasakan pasir, rumput, dan basah tanah liat. Adalah
orang yang menuntunku menemukan surga di bawah telapak kaki ibu, meski
belakangan ku sadari surga ibu bahkan aku juga ada dalam dirimu. Adalah orang
yang polos untuk melucu. Adalah orang yang rela ditertawakan anak-anaknya untuk
membahagiakan. Adalah bagaimana tentang keputusan, dan ibu adalah prosesnya.
Adalah samudera kebaikan yang tak pernah bisa kuselami, hingga membawaku
kembali mengacak-acak kotak memori yang kuberi nama 'kenangan', yang kuletakkan
di sudut terang ; hatiku, dilengkapi
kunci dan alarm yang berbunyi kala pikiran menggelitik sadarku ; rindu.
Ayah. Peluknya
tempatku pulang. Lengannya tempatku mengenal nyaman. Bahunya seperti lembaran
buku harian, tempatku menumpahkan segala keluh kesah. Erat jemarinya adalah
tempatku mengenal aman. Telinganya tempatku mengerti arti sendiri dan kesepian.
Mulutnya tempatku belajar kejujuran, menjelma canda dan senyuman. Keningnya
tempatku menemukan kelembutan meski kerasnya kehidupan. Rambutnya adalah
jelmaan cerita bahwa bahagia tak membuatku menua. Matanya, dimana akhirnya aku
mengenal dunianya yang tanpa sadar menuntunku untuk ikut berkelana mencari dan
merasakan duniaku sendiri. Hidungnya, tak perlu muluk-muluk, dari sanalah aku
bisa rasakan tarikan nafasnya hingga mampu menjangkaunya, pulang ke dalam
pelukannya. Punggungnya, di sinilah aku mengerti hidup adalah menempa dan
ditempa, bagaimana aku akan melupakan jatuh dan merasakan bangkitnya, menimbun
kuat dan belajar menghapus airmataku sendiri.
Ayah. Adalah manusia
biasa. Adalah jasad yang sebagiannya terisi alpa. Adalah laki-laki yang tak
lagi muda, namun berjiwa seperti dia tak pernah menua. Bergerak sana-sini,
seperti cahaya, menuntun kami ; anak-anaknya, menuju tujuan hidup yang indah di
dekatNya. Adalah manusia yang merayakan kadang-kadang. Kadang lupa, kadang
emosional, kadang polos berakhir konyol yang ujung-ujungnya buat kami semua
boros tertawa, kadang berjoget tiba-tiba sambil bernyanyi lagu dangdut, kadang
tertawa sampai terbatuk-batuk. Yang hobi tidur dan mendongeng. Yang keras
kepala, salah satunya adalah merokok. Yang tidak pernah pilih-pilih makanan.
Yang selalu ontime sholat. Yang paling
mengerti bagaimana rasanya memulai segala sesuatu dari nol.
Ayah. Aku takkan
memuji berlebihan, karena bahkan kekuranganmu pun sudah menjadi kelebihan untuk
kami; aku, mama, yunda dan ndik. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, aku
hanya ingin merinci terang dan gelap kasih sayangmu untuk menidurkan rindu yang
berani-beraninya mengganggu malamku yang pendiam, untuk merasakan cinta darimu
di balik jarak yang memberi jeda pada tatapmu dan tatapku. Ayah, selamat ulang tahun :)
Komentar
Posting Komentar