Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Perempuan Berinisial J

Gambar
Ini bukan perihal tanggal dan usia, jika keduanya tak lebih dari sekedar angka - angka biasa. Lalu apakah ada angka istimewa? Sekali lagi bukan perihal angka. Barangkali jadi lebih istimewa di balik semuanya. Meski begitu, kisah ini dibuka dengan sebuah angka. Coba deretkan angka 1 - 10, tentu untuk membuatnya istimewa, kau perlu ambil angka sempurna. 10. barangkali begitulah kita menyebutnya untuk kisah ini yang belum selesai menyeduh hari - hari yang akan tertinggal di dasar cangkir. 10 - sempurna. Kemudian coba kau deretkan abjad sampai 10. Barangkali begitulah kita menamai kisah ini. Perempuan Berinisial J. Dear perempuan, Kau dicintai, tentu saja. Tingkahmu serupa raksasa, lebih berharga dari dunia. Tak perlu raksa untuk membekukan jiwamu yang bebas pada hari - hari yang kau seduh dengan banyak gula. Bagiku kau sempurna, meski tak ada yang sempurna di dunia. Bagiku kau indah, lebih berharga dari semua cuaca. Selayaknya perempuan, kau punya banyak airmata, dan ka

Detik Yang Terlupakan

Gambar
Kau ialah senja pada bulan keenam, yang jingganya menyilaukan sampai ke dasar cangkir tehku yang tak tandas. Padamu, kuletakkan bisu di cawan pagi yang berusia. Kau menjelma rimba yang hijaunya menyejukkan - membuatku tersesat di detik keempat. Seandainya kau tahu, namamu adalah tepi dalam doa - doa yang kupanjatkan - menjelma semoga yang kuselipkan di antara ayat - ayat suci pada gelap pukul dua. Jika saja bisa kulakukan, akan kubawa pulang tatap mata pertama kali sebagai nikmat Tuhan yang tidak kudustai. Namun, aku tetaplah jarum detik pada jam dinding di kamarmu, yang tak pernah berhenti untuk menjangkaumu meski kau lebih memilih berlayar dari aktifitasku menjemput remah - remah roti. Kau membuatku mengelilingi isi kepalaku sendiri sebab kau tak pernah berikan jangkar untukku berlabuh. Kubiarkan bumi memilikimu. Kubiarkan kakimu menuju ke segala mimpimu yang tidak ku tahu. Mendakilah, berlarilah, merangkaklah, kayuh perahumu, berlayarlah. Bergeraklah sejauh yang

Sampai Bertemu Kembali

Gambar
Sebab kau ; Yang selalu membuatku terjaga hingga pukul satu pagi Yang namanya selalu tergenang dalam tengadah tangan pukul dua pagi Yang selalu kukirimkan rindu pukul tiga pagi Sehingga kau terbangun pukul empat pagi dan membasuh wajahmu untuk membalas doaku saat pukul lima pagi. Kemarilah. Luangkan waktumu sebentar untuk duduk di sampingku. Aku menunggumu di taman kampus depan fakultasku. Aku ada di bangku nomor tujuh, dengan sepatu berwarna coklat kayu dan bibir bergincu. Setidaknya begitulah bayanganku ketika waktu tak lagi punya alasan untuk menyembunyikan kita yang saling merindu. Nyatanya, kita hanya dua pasang mata yang malu - malu diantara gedung - gedung berwana putih susu, semarak dengan pintu dan decak kagum para sepatu. Taman ? Itu hanya sebuah mimpi pukul tujuh pagi yang selalu berputar - putar dalam kepala wanita yang duduk di angkutan umum jingga biru, sedang dirimu berjuang di atas motor dengan sepatu ungu dan kaus kaki birumu. Nanti, ada saat d

Tidak Kemana - Mana

Gambar
Ya Allah... NikmatMu telah banyak kudustai. Syukurku tak setebal kertas putih dan bibir - bibir mungil yang bersimpuh di siang hari. Sakitku adalah cahaya yang menjelma di atas para tawa yang selama beberapa hari ini kusejajarkan dengan kealpaanku memelukMu setiap hari. Namun Kau tak pernah pergi. Meski tangan kotor ini menyia - nyiakan doa yang tak pernah kuamini setiap pukul dua pagi. Meski kelalaianku untuk rendah hati nyatanya berdosis lebih tinggi dibandingkan diri ini membaca ayat - ayat suci saat senja datang kembali. Engkau masih memelukku. Saat bulan menangis ditinggalkan matahari pukul tujuh pagi. Saat kaki - kaki ini mengisyaratkan ada kehidupan lain di ujung bumi. Saat kesombongan demi kesombongan mulai menebal di sekujur bumi yang mulai ringkih. Ya Allah... Engkau masih di sini dan tak pernah pergi Seperti malam ini, di tengah - tengah ketidakberdayaan hamba - hambaMu, di antara punggung - punggung yang lupa berserah diri, di atas dunia yang menc

LDR

Gambar
Sudah sejauh mana kau melangkah? Ada surat yang kutitipkan di bawah sepatumu. Kian hari kian terkikis seiring rindu yang tak pernah kau tepis. Kau tak pernah berikan jeda untuk setiap malam yang kita habiskan bersama. Aroma tanah basah adalah pelukanmu yang menghangatkan di kala hujan. Berlembar - lembar doa kau letakkan di bawah pintuku hingga ketika senja mengisiku dengan lelah, aku akan pulang dengan seutas senyum yang seharusnya kau miliki saat itu juga. Tetapi aku hanya berdiri di balik pintu, mengingat suaramu ketika ingin dipeluk. Kau titipkan rasa cemburu kepada angin pagi yang mengecup wajahku segera setelah jendela ku buka. Percayalah, kau masih memelukku di sini. Terkadang aku kembalikan rasa cemburu itu bahkan lebih banyak daripada yang kau kirim, hingga kau harus menghela napas berkali - kali untuk menenangkanku. Entah kau belajar darimana, kau punya jurus jitu untuk membuatku kuat menghadapi ratusan angka di depan kita. Di lain hari, dering telepon tak ubahny

Tidak Sengaja Bertemu

Gambar
Mungkin kau salah satunya. Indah yang harus kunikmati dalam hening. Indah dalam ketidakterjangkauannya. Begitulah, aku menarik kesimpulan. Tergesa - gesa dalam kebingungan antara rindu dan juga keinginan untuk memukul. Ya! Memukul wajahmu. Aku mahasiswa tingkat akhir, kaupun begitu. Haruskah kau hadir saat ini? Tak bisakah kau menunggu lebih lama? Lima tahun ke depan mungkin. Tak bisakah kau biarkan aku fokus terlebih dahulu? Ya, fokus memikirkanmu! Entahlah tugasku sudah tak mengerti lagi sampai dimana.  Dan setiap kali memikirkanmu, kembali berputar memori dimana pertama kali kita bertemu seperti film yang kuputar berulang - ulang. Papan mading, lorong yang gelap, kelas yang sudah sepi, sisa - sisa senja yang masuk melalui jendela, sinar lampu di ujung tangga, dan kita berdua... Sebenarnya kita tidak benar - benar bertemu. Aku tidak mengerti bagaimana kau mengartikan sebuah pertemuan jika saat itu kita berhadapan dalam ketiadaan cahaya. Karena bagiku, menikmati cahaya

Sepasang mata mereka adalah pelukan, saya bisa apa?

Gambar
Di satu sisi saya ingin pulang, tapi di sisi lain saya tak ingin jadi seorang yang merindukan. Sepasang mata mereka adalah pelukan, saya bisa apa? Saya kira dapat mengganti mereka dengan bunga mawar tanpa duri, ternyata saya belajar menikmati rasa sakit dan mengobati luka dengan tangan sendiri. saya kira dapat mengganti mereka dengan sebotol air di gurun, ternyata saya menyadari sinar mereka seperti mentari pagi, menghangatkan - mencukupkan. saya kira dapat mengganti mereka dengan sepasang sepatu mahal, ternyata saya belajar berdiri di atas kaki sendiri dengan pikiran yang jati. saya kira dapat mengganti mereka dengan mahkota berlian, ternyata saya belajar menjadi raja atas pikiran saya sendiri. saya kira dapat mengganti mereka dengan jam tangan mahal, ternyata saya belajar bahwa membuat sebuah kenangan tidak semudah membalikkan telapak tangan. seperti ada yang tertinggal ketika mereka tidak di dekat saya. Bagaimana bisa mereka menciptakan perasaan baru atas diri saya? baga

Sembunyi

Gambar
Aku bukan siapa – siapa, hanya kedua mata Yang terus mencuri cahaya dari kedua yang kau punya Aku bukan siapa –siapa, hanya pengkhayal Yang seringkali menahan nafas ketika bermimpi Kau berjejak di ujung keningku Aku bukan siapa – siapa, selain seorang tunawicara Perihal bahu yang sudah ku beri nama “semesta”, Meski kutahu hidup terlalu singkat Untuk terus mengingat seseorang yang tidak pernah dekat Aku selalu ada Di udara yang sama Di sudut yang sama Kapanpun kau menggerakkan kepala Bukan untuk menjadi apa Bukan pula siapa – siapa, selain sebuah sembunyi Yang sekarang sedang berkaca – kaca.

Pukul 3 Pagi

Gambar
Hujan terjepit dalam tangan cenayang Lampu kota melumat gerimis, tiang listrik tergelitik Tetes - tetes air dari parka - parka yang basah Tak jua memberi jejak untuk langkah yang tersesat Kebetulan tak sepaham dengan cinta yang semestinya Adakah ruang di antara ruas jemari Yang tak pernah tersentuh oleh kepala Kian hari kian mengeras Sembunyi hanya untuk nama Bayangan di balik hitam, putih, garis, dan angin Purnama tak akan sempat menangkap Nada - nada yang berlarian dalam doa Merah padam, malu - malu dalam rayu - merayu Pagi masih setengah tidur, Membabi - buta, membutakan yang seharusnya Selangkah belum juga menua Seikat senyum untuk dua pasang kelopak mata Tanpa sadar racun terus mengalir di balik saku Diam - diam membunuh yang tercipta dari diam -diam Mengikis segala yang terlarang Segan pula mencicipi pesonanya, adakah racun yang tertuang hingga kapan saja bisa mati? Telanjang atau tenggelam, dalam keadaan terikat oleh tatapan m

selamat ulang tahun (3)

Gambar
Betapapun aku mengerti ada gema yang begitu ringkih untuk lelah yang kau tahan. Tatapan cemas yang lahir dari tawamu yang terkadang mencipta sungai di mataku pelan - pelan. Jika katamu dingin dan panas menenangkan, lalu ada rasa bersalah yang lebih besar dari segumpal tangan ketika anak perempuanmu demam dan kau beri pelukan. Kau paling tahu musim mana yang harus kami lewatkan, kerikil mana yang harus kami bawa pulang, dan duri mana yang sebaiknya kami biarkan tertelan. Untuk jarum jam yang terus berputar ulang, ada banyak celotehan kita yang kerap kita tinggalkan dalam toples - toples di atas meja makan. Doaku untukmu tak pernah tumbuh besar melebihi doamu untuk anak - anakmu, begitu panjang melebihi lintasan dari bumi ke bulan. Pada rahimmu yang paling ibu, ada sejuta doa yang kau panjatkan membuka akar pikiran bahwasanya menjadi kuat bukan hanya sekedar bisa mematahkan lengan. Pada senyumanmu yang bisu, kau mengajariku untuk menjadi yang paling mengerti pada hati dan piki

Kisah Lain; Fatimah dan Ali

Gambar
Kau adalah pulang yang dia tunggu. Selayaknya rumah, itulah mengapa ia tak pernah pindah, karena ia tahu dirinya tempat pulangmu menuju. Anggaplah saat ini kalian adalah perantau karena ada kalanya rumah butuh sendirian. Pun kalian, perlu waktu untuk menyesap rindu di bibir cangkir untuk jarak yang memberi satir. Kalian perlu cara paling picisan untuk membuktikan bahwa perasaan kalian kuat, lebih kuat dari derit pintu yang terbuka-dengan-kalian-berjauhan- pada rumah sebagai pulang untuk mereka yang lelah dan menghabiskan detik - detik tubuh yang menunggu pasrah. Perantau bukan untuk datang kemudian hilang, tetapi ia pergi untuk kembali. Jadi, tenanglah karena dengan berjauhan pun adalah cara perantau untuk kembali pulang. Untukmu yang belum 'pulang' Mungkin sampai kapanpun tulisan ini takkan mampir di pelupuk matamu. Ingatkah denganku? Aku bertanya pada fotomu, pada sejarah yang belum selesai kau tulis di layar segi empat. Aku ini perempuan yang luruh pada lengan

Kau Akan Membencinya

Gambar
Kau akan membencinya; serupa dia membenci hari ini, dimana kau mengikat cinta untuk yang lain dengan kilau yang melilit di jari manismu. Kau akan membencinya, serupa ia membenci hari ini, dengan sengaja melepas tanganmu yang melingkar di pinggangnya. Katanya, kau bukan lagi tangan mungil yang menarik - narik bajunya, sedang wajahmu mengarah ke toples gula. Sekuat yang dia bisa, tersenyum dipecundangi waktu bahwa kau kini wanita dengan pilihan. Langkah kalian tak lagi sama, ia membelakangimu jauh. Begitu jauh agar melupa bahwa kini kau adalah wanita yang kuat bersama kerajaan barumu. Tak terlihat, perlahan mahkota itu ia lepas dari kepalanya, sedang tangannya yang lain gemetar karena menahan airmata. Ia tak ingin lemah pada hari ini dimana kau membencinya. Membenci ketidakhadirannya, semoga kau paham ini takkan mudah baginya. Melihatmu memeluk wanita lain yang kini akan menikmati tawamu setiap hari, kau beri pelukan hangat yang sama untuk wanita dari rajamu. Di kepalamu, ia

Rabu

Gambar
Sejak selasa malam aku sudah sibuk memilih mana pakaian yang akan kugunakan besok untuk kuliah. Tentu ini bukan alasan yang pertama, niatku mencari ilmu justru tertimpah oleh bayangan rabu yang penuh kamu. Jangan tanya perihal tidurku. Yang kutahu, hari sudah pukul delapan pagi dan tubuhku sepenuhnya sudah berada di kampus. Kau tampak serius membaca buku, membolak-balik halaman dan sesekali memejamkan mata. Selalu aku menjadi tokoh utama perihal-menatapmu-dari-jauh. Kemeja pink terbalut manja di tubuhmu, kukira perasaan kita sama, berbunga - bunga . Aku setia menontonmu, memperhatikan gerak bibirmu ketika berbicara dengan lawanmu. Hari itu, kau sedang berjuang mempertahankan pendapatmu. Hiruk - pikuk seperti menjauh, yang ada hanya suaramu seperti residu kopi yang selalu menunggu. Kau tak dimenangkan oleh mereka, namun kau tetap memenangkan aku yang antusias menyaksikan segala pikiranmu tumpah dalam kata. Aku berjalan mendekat, ingin menyapamu. Nyatanya, tanganmu telah sampai

Perayaan

Gambar
Hidup kita adalah perihal merayakan kebetulan-kebetulan yang disiapkan Tuhan. Kamu yang mengisi bangku kosong di belakangku, sedang aku menikmati sore yang ganjil di kedai kopi sendirian, kita menepi dari riuh yang berlari-lari. Saat itu aku tak paham, Tuhan sedang bekerja. Buku menu yang biasanya tersedia di semua meja, entah mengapa saat itu tak ada di tempat yang kau pilih - dan hanya meja yang kau tempati tidak tersedia buku menu! Lihat? Kita berdua sedang merayakan kebetulan dari Tuhan. Kau menyentuh bahuku, mengejutkanku yang sedang mencari pulang. Dalam jarak yang cukup dekat, satu persatu mulai masuk mencari tempat di dalam memori ingatanku - aroma tubuhmu, lekuk wajahmu, sinar mata, dan getar suaramu saat meminjam buku menu. Segala kebetulan yang tak pernah ingin kupahami sampai saat ini, biarlah begitu saja… mencipta lintasan yang tak pernah pasti sebagai kenangan yang akan terus berotasi. Selanjutnya, kita terus berpesta merayakan kebetulan. Aku yang pada awalny