Postingan

Menampilkan postingan dengan label Flashfiction

Tanggal Dua yang Kesepian

Kamu menutup semua akses komunikasi. Aku tau, aku belum cukup tahu diri untuk berhenti. Apa masih boleh aku merindukanmu? Aku tidak tanya ini pantas atau tidak. Tentu, tidak pantas seperti yang sudah kubilang aku belum cukup dewasa untuk menerima sebuah perpisahan. Kukira sedang di fase trauma, atau mungkin aku yang terlalu keras kepala untuk melupakan. Kadang aku marah padamu. Tenang saja, kemarahanku tidak akan menganggumu. Apa tidak pernah terlintas sebentar saja kamu memikirkanku? Atau kamu sudah terbiasa tega tak ingin tahu keadaanku? Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya merindukan seseorang begitu lama, berhari-hari, sementara wajahnya mulai samar-samar di kepala? Bukan sudah melupakan, tetapi karena sudah begitu jauh kita sekarang. Tidak perlu diberitahu lagi. Aku tahu, aku bodoh. Seperti yang pernah kamu katakan, apa yang bisa aku harapkan dengan menyukai laki-laki sepertimu. Aku juga ingin berhenti, sungguh. Tapi sebentar saja bisa kamu bayangkan bagaimana lelahnya menjadi aku...
Karena ketidakpedulianku, aku ingin tahu dari sudut pandangnya. Sedalam apa rasa kesepian yang tidak pernah ia tunjukkan, bahkan mungkin di depan "teman seumur hidup"nya. Dari sebuah kursi yang menjadi tempat ia bersantai sehari-hari, kursi kayu usang yang sering berderit setiap kali ia duduk. Bantalan kursi yang sudah tipis menandakan betapa banyak waktu berlalu  ia habiskan untuk menekuni setiap tingkah laku yang kami lakukan. Namun begitu, kursi tersebut sudah seperti teman yang selalu memberi kenyamanan.  Malam, di mana ia seringkali tersesat dalam kewajibannya yang tidak pernah usai. Ia tutupi dengan senyuman, atau sekadar kelakar dengan cerita berulang-ulang. Tahu kenapa ia sering membuat lelucon yang sama? Karena ia ingin selalu melihat tawa kami pada lelucon pertama. Di balik kacamatanya, ada wajah yang lelah seharian menemui terik untuk mencari ini-itu yang kami inginkan. Bahunya yang mulai turun, membuatku ingin memahami seberat apa beban yang tak pernah ia ceritak...

50:50

Gambar
http://sf.co.ua/ Sempet mikir waktu itu, apa gue berhenti aja ya? Setelah dia pergi, gue kayak orang kebingungan, jadi enggak suka apa-apa. Gue nyalahin Tuhan. Gue berpikir dunia jahat banget, seolah-olah gue akhirnya paham,” Oh, jadi gini toh rasanya waktu orang-orang bilang dunia itu gak pernah adil…” gue jadi sering berpikiran buruk, kayak bahagia tuh mustahil banget buat gue. Barang mewah. Butuh waktu dua tahun buat gue sembuh. Bukan pertama kalinya gue ngerasain perpisahan, tapi kali ini kenapa lama banget buat gue sadar kalo titik balik kehidupan bisa dari mana aja. Bahkan sampe sekarang gue masih takut buat mulai lagi. Seenggaknya gue lanjut lagi, gue ngelakuin apa yang dulu sempet gue tinggalin. Gue nulis lagi. Gue jadi sadar semesta itu gak pernah jahat. Sama sekali. Gue dikasih apa aja yang gue butuhin tapi karena gue terlalu fokus ke satu orang, gue kayak nolakin semua bahagia yang dikasih buat gue. Ketemu dia, terus pisah, sekarang balik lagi jadi orang as...

3.31 Kenapa ia begitu kucintai?

Ia menjagaku seperti seorang ayah Ia mencintai seperti seorang pria Terkadang, ia tertawa seperti anak usia lima Keluh-kesahnya ingin didengarkan seperti seorang remaja. Ia bisa sehangat mentari, Bisa sedingin malam, Dan ia bisa membawaku ke mana saja lewat cerita-ceritanya. Hariku lengkap melihat wajahnya seperti bayi saat tertidur Membuatku tersenyum, menyadari aku tidak bisa lari dari seseorang yang ada di depanku ini. Kenapa ia begitu kucintai? Kadang ia bisa sangat keras kepala, Bisa begitu manis saat salah tingkah. Bernyanyilah di depannya, senyumnya akan membuatmu lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Humornya sangat buruk, tapi aku selalu tertawa. Waktu terasa begitu cepat saat bersamanya Mendengar tawanya, melihat senyumnya, menikmati gerak tubuhnya yang begitu antusias saat bercerita. Aku bisa jadi apa saja di depannya. Tanpa make up, oversized tees, unbrushed teeth, or get lost in chocolate and ice cream. Ia ingin aku menjad...

Ayo Berani Jadi Manusia

Kadang kesel dengan isi kepala sendiri. Kenapa nggak berhenti? Kaya penuh banget, pengen nangis tapi nggak bisa. Entah karena nggak mau atau udah terlalu capek buat nangis. Nggak bisa selalu buat orang lain bahagia, dan nggak harus. Bahkan buat diri sendiri bahagia aja susah. Nggak tau badan sendiri maunya apa, nggak ngerti. Pengen istirahat tapi kenapa nggak mau, kenapa pura-pura? Untuk siapa? Emang mau ngebuktiin apa sih? Buru-buru, sampe sesak napas, emang mau ke mana? Padahal bakalan sampe juga. Kalo takut harusnya minta ditemenin kan? Tapi kenapa malah menghindar? Patah hati kan wajar. Kalo lurus-lurus aja nggak seru. Nggak mau ngerasa bosen kan? Mau jadi manusia aja takut. Takut kalo nggak kuat, takut kalah, takut salah, takut nangis, takut kalo nggak bisa. Padahal gapapa… nggak harus semuanya bisa, nggak harus selalu kuat. Yakin udah jadi diri sendiri? Sesayang apa sih sama diri sendiri? Kapan terakhir kali bener-bener ketawa lepas?...

2. 24

Tahun-tahun yang paling kubenci. Pertemuan yang kusesali. Dia tahu perasaanmu, tapi pura-pura tidak mengerti. Dia bilang tidak akan pernah meninggalkanmu, padahal ia sedang mencari. Kau sudah tahu bagaimana akhirnya, tapi terlalu bodoh untuk pergi. Apa segini saja kau memperlakukan hatimu sendiri? Mengingatnya saja sudah berat karena kau harus menyakiti diri sendiri berkali-kali. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menyalahkan pertama kali. Pertama kali bertemu. Pertama kali saling berbicara. Pertama kali bertukar pesan singkat. Pertama kali mengkhawatirkannya. Pertama kali ingin melindunginya. Pertama kali menyadari bahwa ini takkan mudah. Kau menangis, dia takkan peduli. Merindukannya lebih berat dari perpisahan itu sendiri. Untuk apa meminta maaf, untuk apa melupakan. Dia bahkan bukan seseorang yang pernah kau miliki. Jangan ganggu dia lagi, ia juga sedang berjuang untuk membahagiakan wanitanya. Kenapa tidak kau temukan langkah sen...

15. 47

Membencimu? Mana mungkin. Baru memulainya saja aku sudah merindukanmu berkali-kali. Ternyata setahun berlalu, puisi itu masih kamu. Betapa bodohnya, seharusnya aku mampu membencimu, tapi justru mengkhawatirkanmu. Aku menangis, kesal dengan diri sendiri. Bagaimana rasanya jadi seseorang yang selalu dikagumi? Mungkin biasa saja bagimu yang tidak tahu. Bebas saja tangan siapa yang ingin kau genggam, kepada siapa kau ingin jatuhkan pilihan. Lalu bagaimana denganku? Ingin pergi tapi tak bisa ke mana-mana. Katanya omong kosong jika rindu tapi tidak bertemu,  kenyataannya banyak rindu tidak tersampaikan kepada yang tidak terikat. Tanpamu, aku takut dengan segala yang ada di sekitarku. Apa hanya aku yang mengerti cinta di saat kau pergi? Kau bisa tertawa, melihat ke arah lain, menggenggam siapa saja yang kau pilih. Aku melalui hari-hari seperti orang gila. Selalu menangis ketika ingin tidur dan kembali menangis saat terbangun di pagi hari mengingatmu. Lupa rasanya air put...