Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Tulisan Ini Bukan Tentang Kamu

Ini bukan tentang kamu saja. Tentang dia, yang memikirkanmu setiap kali ia membuka mata di pagi hari. Tentang dia, yang ingin menjagamu. Tentang dia, yang selalu bertanya kabarmu, apakah kau baik-baik saja di sana. Tentang dia, yang selalu menyisihkan sayuran di piringnya untukmu agar kau tetap sehat. Tentang dia, yang selalu mendoakanmu. Tentang dia, yang selalu menatapmu diam-diam. Tentang dia, yang selalu memasukkan jaket ke dalam tasmu. Tentang dia, yang belajar membuat telur setengah matang karena kau suka seperti itu. Tentang dia, yang akan selalu menyelimutimu saat kau ketiduran. Tentang dia, yang tidak akan mematikan TV karena kau terbiasa tidur dengan cara seperti itu. Tentang dia, yang tidak lagi mematikan lampu di malam hari. Tentang dia, yang akhirnya mau melipat halaman novel kesukaanmu yang tertinggal di ruang tamu padahal ia benci melakukan itu. Tentang dia, yang tetap tertawa pada lelucon yang kau ulang-ulang. Tentang dia, yang selalu mendukung semua keputusanmu.

I LOVE YOU

Mungkin memang harus mabuk dulu agar aku bisa katakan. Kamu boleh anggap ini sebuah kesalahan, tapi yang jelas ini bukan lelucon. Aku bukan orang yang ekspresif dengan perasaan, bahkan berdiri di depan cermin aku bisa canggung dengan diriku sendiri. Meski aku selalu nyaman bersamamu, ada hal yang selalu kutekan dan tidak pernah berhasil untuk kusampaikan. Entahlah, hatiku terlalu bodoh dan lemah. Sudah banyak waktu terbuang sia-sia dengan kenyataan aku menyesal tidak mengatakannya. Saat di depanmu, aku bertingkah berlawanan dengan apa yang kusiapkan pada malam-malam sebelumnya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sudah kukatakan malam ini, dua kali dengan terbata-bata dan terdengar tidak jelas. Kau tidak percaya, satu hal yang mungkin tidak akan pernah kulakukan lagi. Kau hanya diam dan tersenyum, sedangkan aku menunggu balasan. Setidaknya katakan sesuatu. Esok pagi, aku masih harus berpura-pura lupa tentang malam ini. Kemungkinan yang paling besar adalah kau tidak ingin mene

Bukan Buat Ipin

Bulan Oktober adalah bulannya. Semoga tulisan ini tidak terlambat karena aku tidak tahu tanggal pastinya. Sebenarnya tidak hanya bulan Oktober saja, ada bulan dan tanggal lainnya yang mengantre untuk diisi kenangan setiap tahunnya. Tiga tahun belakangan keberadaanku di antara mereka mulai bisa dihitung jari dan hari demi hari kehadiranku tidak lagi sesempurna angka sepuluh. Aku menyadari mungkin ini egois, perlahan-lahan tanpa kusadari celoteh mereka mulai jauh terdengar ditutupi rutinitas yang justru membuatku diam di tempat. Satu hal yang kutakutkan adalah suatu hari aku tidak lagi bisa menebak pola dan tingkah laku mereka sama seperti aku lupa dengan hari ulang tahun mereka. Sebenarnya, untuk hal ini aku menolak untuk ingat, untuk berbasa-basi dengan ucapan selamat. Aku tahu, di antara kalian aku yang paling keras kepala untuk tidak memberi dari yang paling sederhana. Selama bersama, sedikit sekali hal-hal sepele yang kulakukan—sesederhana bertanya apa kabar, bilang i miss yo

Ryan

Sebut saja ia Ryan. Mungkin terdengar kebarat-baratan. ltu adalah salah satu tokoh Drama Korea yang kutonton saat ini. Bukan kali pertama kami bertemu dalam keadaan ia selalu membantu dengan kecerobohanku. Entah sejak kapan tas yang biasa kugunakan untuk ke kampus berlubang kecil di sudut kiri menyebabkan bolpoin yang akan kugunakan untuk tanda tangan dosen hilang sekejap. Aku berusaha mencari sambil berjalan di sekitaran parkir kampus gedung A siang itu. Ia mencegatku sambil rnenyodorkan pulpen seolah tahu apa yang kucari. Aku terkejut, memandangnya heran, bahkan aku tidak tahu namanya saat itu. Jangan kelamaan mikir, dosen enggak akan seluang itu nunggu kamu mau ambil   pulpen ini atau enggak. Aku tidak peduli, makin keheranan. Kau memberi paksa pulpen itu ke tanganku lalu pergi. Ya, memang dosen tidak punya banyak waktu luang, tiga jam menunggu akhirnya ada kemajuan untuk penelitianku. Kau menunggu di luar ruangan, lebih tepatnya, aku melihatmu kembali dengan dua gelas

Helvme

Dia bisa dapatkan apa saja yang ia mau, bahkan sebelum bertemu denganku, ia sudah punya dunianya sendiri. Namun, apa yang ia katakan? Aku sudah cukup dengan memilikimu, duniaku tanpamu tidak berarti apa-apa Lalu, aku mulai menganggap itu semua hanyalah rayuan, ia suka sekali bercanda. Bahkan aku pernah berpikir ia seperti sedang bermain-main dengan perasaanku. Apa hanya aku yang memiliki perasaan padanya? Apa ini hanya sepihak? Seringkali aku mengatakan padanya bahwa ia tidak romantis dan tidak peka sampai aku menyadari ia begitu menyayangiku lebih dari yang aku tahu, lebih dari yang bisa ia tunjukkan. Dia tidak ekspresif dan pemalu, sikap dingin yang kuanggap menyebalkan sebenarnya kelembutan yang selalu ia berikan. Justru aku yang tidak mengerti dan tidak peka padanya. Dia tidak terbiasa untuk bilang ‘terima kasih’ dan ‘maaf’, tapi bersamaku, ia ingin menjadi yang terbaik. Ia ingin selalu melindungiku, menjadi seseorang yang bisa kuandalkan dengan sifat cerobohku.

Setahun Berlalu

Aku masih mencarimu di tempat biasa kita menghabiskan waktu dengan kopi kesukaanmu. Kau seringkali mengeluh dengan menambahkan dua sendok gula ke dalam cangkirmu. Masih kutemukan diriku tanpa sadar tersenyum mengingatmu di halte biasa kau mengantarku. Aku masih menuliskan namamu di pencarian media sosialku, memastikan kabarmu baik baik saja. Sebelum tidur, aku membaca pesan pesan singkat darimu, membuatku kembali menghitung sudah sejauh apa jarak kita sekarang. Aku tidak bisa mengendalikan pikiranku saat memanggil teman dengan namamu. Aku menonton iklan sepak bola lebih lama, membayangkan betapa bahagianya kau melakukan hobimu. Aku menahan diriku untuk tidak menutup telinga saat hujan dan petir karena ingin terlihat berani di matamu. Lagi lagi aku tersenyum tanpa sadar saat melihat brokoli dan wortel di dalam mangkuk sup, bagaimana dulu kau begitu gemas melihatku menyisihkan sayuran di nasi goreng kesukaanku. Aku tidak lagi memesan kentang goreng ukuran besar. Aku mulai m

Selamat Ulang Tahun.

Gambar
weheartit 01 Februari 2017, dua tahun yang lalu. Sore itu di Stasiun Pasar Senen tepat sehari sebelum ulang tahunku. Kau ingin pulang ke Jogja, merindukan pangkuan ibumu di kampung halaman. Kau tidak berkata apa-apa selain memunggungiku. Aku kira bandara, stasiun, dan terminal adalah tempat paling klasik untuk sebuah perpisahan, sampai aku mengalaminya. Kau inginkan aku mengantarmu, rindu katamu. “Dek, di mana?” “Lagi dengan temen . Pulang jam berapa, Mas?” “Jam tujuh. Kamu ke sini ndak antar aku?” “ Kan udah gede bisa pulang sendiri hehe…” “Sempatkan ke sini, nanti aku rindu.” “Siap. Aku juga enggak jauh kok dari stasiun.” Dan seperti perempuan pada umumnya yang selalu luluh dengan kata-kata manis para lelaki, aku mendapatimu tersenyum senang saat melihatku di depanmu. “Sudah mau berangkat?” “Belum, masih lama. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi. Kamu sudah makan?” “Sudah tadi dengan temen . Terus sekarang mau ngapain ?”