Tidak Sengaja Bertemu
Mungkin
kau salah satunya.
Indah
yang harus kunikmati dalam hening. Indah dalam ketidakterjangkauannya.
Begitulah, aku menarik
kesimpulan. Tergesa - gesa dalam kebingungan antara rindu dan juga keinginan
untuk memukul. Ya! Memukul wajahmu. Aku mahasiswa tingkat akhir, kaupun begitu.
Haruskah kau hadir saat ini? Tak bisakah kau menunggu lebih lama? Lima tahun ke
depan mungkin. Tak bisakah kau biarkan aku fokus terlebih dahulu? Ya, fokus
memikirkanmu! Entahlah tugasku sudah tak mengerti lagi sampai dimana. Dan setiap kali memikirkanmu, kembali
berputar memori dimana pertama kali kita bertemu seperti film yang kuputar
berulang - ulang. Papan mading, lorong yang gelap, kelas yang sudah sepi, sisa
- sisa senja yang masuk melalui jendela, sinar lampu di ujung tangga, dan kita
berdua...
Sebenarnya kita tidak
benar - benar bertemu. Aku tidak mengerti bagaimana kau mengartikan sebuah
pertemuan jika saat itu kita berhadapan dalam ketiadaan cahaya. Karena bagiku,
menikmati cahaya matamu adalah sebuah pertemuan. Jadi suaramulah yang saat itu
sedang menatapku. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahmu ketika berbicara.
Tersenyumkah?
Kau berdiri di ujung
tangga, kemudian hilang. Tak ada nyali untuk melihatmu lebih dekat. Setidaknya
biarkan terang membuktikan bahwa kau bukan ilusiku. Tapi aku terlalu pengecut.
Ku dengar ketukan sepatumu semakin menjauh. Dan baiklah, iramanya mulai mencipta
ruang di hatiku. Ruang rindu. Begitulah yang diucapkan dalam sebuah lagu.
Aku melewati tangga
yang sama ketika pulang bersama temanku. Dengan sisa - sisa tenaga hari itu,
aku menghitung satu demi satu anak tangga yang juga kau lewati untuk menyamakan
ketukan rindu. Langkahmu terburu - buru, begitukah debar jantungku? Aku jatuh
padamu dengan mudahnya. Dengan mudahnya pula kau hadir sebentar kemudian
hilang. Memang, keinginanku adalah kau tak menetap, tapi aku benci kau memilih pergi. Jika waktu
dapat kuputar kembali, aku hanya ingin sebuah nama. Selebihnya, aku akan mundur
perlahan, cukup tahu diri untuk mengagumimu dengan takaran yang pasti. Aku tidak cukup percaya diri untuk menjadi
pemilik dari sebuah senyuman pagi yang mungkin
akan kau suguhkan bersama secangkir kopi, setiap hari. Kau bukanlah hal yang
bisa kuatasi - indah yang tak bisa aku miliki.
Komentar
Posting Komentar