Perayaan
Hidup
kita adalah perihal merayakan kebetulan-kebetulan yang disiapkan Tuhan. Kamu
yang mengisi bangku kosong di belakangku, sedang aku menikmati sore yang ganjil
di kedai kopi sendirian, kita menepi dari riuh yang berlari-lari. Saat itu aku
tak paham, Tuhan sedang bekerja. Buku menu yang biasanya tersedia di semua
meja, entah mengapa saat itu tak ada di tempat yang kau pilih - dan hanya meja
yang kau tempati tidak tersedia buku menu! Lihat? Kita berdua sedang merayakan
kebetulan dari Tuhan.
Kau
menyentuh bahuku, mengejutkanku yang sedang mencari pulang. Dalam jarak yang
cukup dekat, satu persatu mulai masuk mencari tempat di dalam memori ingatanku
- aroma tubuhmu, lekuk wajahmu, sinar mata, dan getar suaramu saat meminjam
buku menu. Segala kebetulan yang tak pernah ingin kupahami sampai saat ini,
biarlah begitu saja… mencipta lintasan yang tak pernah pasti sebagai kenangan
yang akan terus berotasi.
Selanjutnya, kita terus berpesta merayakan kebetulan. Aku yang pada
awalnya meyakini bahwa kita adalah senja yang tak sampai, kini sangat menggilai
jingga. Bagiku, jingga pada senja seperti diriku, yang malu-malu dan penuh
debar menerka-nerka apakah malam akan datang menjemput atau tidak, dan kalaupun
malam datang, apakah kamu bersama denganku atau tidak. Kemudian ada saat dimana aku dan kamu saling tertawa tentang kita. Perihal
tatap yang tak pernah tuntas pun jarak yang tak pernah lunas. Ketika kita
bilang tak saling rindu, kemudian bermain detik kita mengaku. Pada saat itu,
kita masih saja malu - malu.
Tak
terhitung sudah berapa sore yang kita lalui bersama. Kadang terlewati ganjil,
kadang pula berbalut manja. Seperti sore kala itu, pelan-pelan kita telusuri
taman kota. Sesekali kita menunduk, apakah sudah sejajar langkah kita. Sesekali
aku mengayunkan tangan ke udara, menerka-nerka rasa apa yang hadir di antara
jemari kita yang terpaut. Sesekali tersenyum sendiri, merasa kembali di usia
lima, dimana ayah dan ibu pulang membawa balon dan kembang gula. Udara tertawa,
raut wajahmu bahagia. Waktu kita dan semesta bergerak sama.
Tak
terhitung pula sudah berapa cangkir kopi yang menemani segala ke-kita-an.
Seperti saat itu, secangkir tulisan tumpah dalam baris-baris kopi yang tinggal
setengah. Dusta hilang seiring noda. Tanpa kata, kau rebut aku penuh seluruh
dari sore yg terjaga. Di kursi taman, potret diriku dengan mulut terbuka,
sedang di sini aku hampir meledak melihatmu tertawa. Kaukah itu? Yang
kubutuhkan untuk genap menjadi kita, untuk mencampakkan sepertiga dari dunia.
Segala
kebetulan itu masih kita rayakan sampai saat ini. Dari senja berbagi senja,
dari pagi berganti malam. Dan favoritku adalah ketika malam telah benar-benar
menjemput. Kau akan selalu tahu perihal ini, sayang. Kedua tangan yang selalu
mencari semestanya, merengkuh pinggangmu. Aku tidak peduli bagaimana kau
membagi senyum ketika terik sedang menempamu, berusaha betah ketika kotak kaca
di luar sana mengurungmu. Segala kebetulan ini seperti permainan. Menyaksikanmu
di ranjang kita yang bertabur puisi, memunggungi malam, memencundangi bulan,
membuatku merasa bahwa segala kebetulan telah aku menangkan.
Untuk kamu, terlelap di sampingku
Komentar
Posting Komentar