Rabu


Sejak selasa malam aku sudah sibuk memilih mana pakaian yang akan kugunakan besok untuk kuliah. Tentu ini bukan alasan yang pertama, niatku mencari ilmu justru tertimpah oleh bayangan rabu yang penuh kamu. Jangan tanya perihal tidurku. Yang kutahu, hari sudah pukul delapan pagi dan tubuhku sepenuhnya sudah berada di kampus. Kau tampak serius membaca buku, membolak-balik halaman dan sesekali memejamkan mata. Selalu aku menjadi tokoh utama perihal-menatapmu-dari-jauh. Kemeja pink terbalut manja di tubuhmu, kukira perasaan kita sama, berbunga - bunga. Aku setia menontonmu, memperhatikan gerak bibirmu ketika berbicara dengan lawanmu. Hari itu, kau sedang berjuang mempertahankan pendapatmu.

Hiruk - pikuk seperti menjauh, yang ada hanya suaramu seperti residu kopi yang selalu menunggu. Kau tak dimenangkan oleh mereka, namun kau tetap memenangkan aku yang antusias menyaksikan segala pikiranmu tumpah dalam kata. Aku berjalan mendekat, ingin menyapamu. Nyatanya, tanganmu telah sampai membelai kepala wanita lain-kekasihmu. Kemudian turun memenuhi sela jemarinya, merangkulnya.

Akan ada masanya di mana kau tak paham apa yang sedang kau lakukan untuk orang yang kau cinta sedang dia tak mencinta.

Aku terhenyak. Mendapati diriku diam kebingungan di tengah-tengah aula, sambil bertanya-tanya mengapa senyumku terasa hambar. Memar-memar luka sedang menghapusnya. Kemudian segala terka berkecamuk di dalam kepala. Bagaimana jika aku yang kau rangkul, apa setengah dari dunia sudah kukuasai? Bagaimana jika jemariku penuh denganmu? Apa  semua kerajaan akan jadi milikku? Dan bagaimana jika kepalaku yang kau belai dengan penuh kasih sayang, apa memang benar kaulah pangeranku? Aku seperti kursi kosong di bar tua dengan derit yang menyedihkan. Beberapa orang tampak lalu - lalang namun tak satupun pelanggan mau mendudukinya, berdebu dan terpinggirkan. Aku seperti rindu yang tersamarkan angin di kala hujan. Sepotong jiwa yang tampak kabur. Selembar mimpi indah yang terlupakan.

Ternyata kita bukan jeda yang panjang, kita adalah senja yang memang tak akan pernah sampai. Hari itu adalah sesak yang terlalu pasti, entah apa bisa kusudahi. Senyumku hilang tenggelam dalam harapan yang kalah. Sesekali aku tertawa-menertawai diri sendiri. Bodoh apalagi yang sedang kuperbuat. Bahkan belum sempat kutitipkan airmata, kau-atau mungkin aku sendiri-membunuh berkali-kali perasaan yang seharusnya menemukan tempat ramah untuk pulang.

Dirimu yang pendiam, membuatku malu bahwa selama ini aku hanya berputar-putar mengelilingi kamu dan wanita itu. Harmoni cinta yang kuciptakan sedari pagi menjadi jeritan tanpa suara, menyalahkan semesta. Segala rindu tak pulang di hari rabu. Seharusnya dari dulu aku peka, bahwa senyumanmu hanya akan membuatku patah. Kau begitu luas untuk kujangkau, kau curam dan menghanyutkan. Masih dengan setengah sadar, pilu ini berakhir di rabu tanpa kamu.


Untukmu, si "gunung es"

yang tak terjangkau


Komentar