Kisah Lain; Fatimah dan Ali



Kau adalah pulang yang dia tunggu. Selayaknya rumah, itulah mengapa ia tak pernah pindah, karena ia tahu dirinya tempat pulangmu menuju. Anggaplah saat ini kalian adalah perantau karena ada kalanya rumah butuh sendirian. Pun kalian, perlu waktu untuk menyesap rindu di bibir cangkir untuk jarak yang memberi satir. Kalian perlu cara paling picisan untuk membuktikan bahwa perasaan kalian kuat, lebih kuat dari derit pintu yang terbuka-dengan-kalian-berjauhan- pada rumah sebagai pulang untuk mereka yang lelah dan menghabiskan detik - detik tubuh yang menunggu pasrah. Perantau bukan untuk datang kemudian hilang, tetapi ia pergi untuk kembali. Jadi, tenanglah karena dengan berjauhan pun adalah cara perantau untuk kembali pulang.


Untukmu yang belum 'pulang'

Mungkin sampai kapanpun tulisan ini takkan mampir di pelupuk matamu. Ingatkah denganku? Aku bertanya pada fotomu, pada sejarah yang belum selesai kau tulis di layar segi empat. Aku ini perempuan yang luruh pada lengan - lenganmu di bahuku. Dulu. Perempuan yang hanyut dalam lautan dadamu.

Untukmu yang kerap melupa makna 'pulang'

Barangkali langkahmu tersesat karena tak ada aku. Aku yang sedang larut atau barangkali mati terparut oleh kertas dan pena untuk mengusir Desember asing yang mulai memberi lebam pada kaki - kaki yang terpasung. Kini kita sama, berada di bulan baru. Apa ingatanmu sudah kembali? Masih tidak ingat aku? Aku pernah mengisi sela jemarimu. Perempuan yang patah berkali - kali dalam tatapanmu.

Barangkali kau lupa, ya belakangan ini kau jadi pelupa, perihal kita yang dulu. Kita yang melumat kata di balik selimut masing - masing, saling menjamah kasih, tersipu malu di depan layar segi empat. Kau menjelma malam, dan aku pengasuhnya, bagaimana kita lupa memulangkan malam kepada senja hingga saat itu pagi bukan lagi barang mahal. Kerap kau putar waktu untuk menjemput segala ke-kita-an pada seragam kita yang sama, pada tirai bioskop yang terentang pelan memberi senja yang kusuka di punggung tanganmu. Kau ingat sayang, bagaimana kita-tepatnya dirimu- membunuh waktu dengan keahlianmu memutar waktu di pusat perbelanjaan, dan bagaimana aku, perempuan yang membuatmu patah berkali-kali, bungkam dengan tembok tinggi yang kubangun sendiri.

Untukmu, sayap - sayap yang patah

Barangkali di kepalamu, aku adalah perempuan yang menolak terbang dan menjadi sebab kau mengambil langkah yang tak kupahami untuk hilang. Aku paham, meski terlambat, segala kita yang kau inginkan. Namun saat itu, aku lebih rumit dari lipatan rok biruku dan juga tali sepatuku. Ada keinginan - keinginan kita yang kerap aku dustai serupa tulisan - tulisan di pinggir kitab suci; ada tapi sulit dipercayai. Kau hanyutkan di mana kata "sob" sebagai panggilan cintamu yang utuh untuk aku yang terkadang rapuh. Kau kecup asin mataku, mengubahnya menjadi tulang - tulang rindu yang kau bariskan dalam doamu. Jauh di dalam hatiku, aku diam berantakan serupa pohon kelapa menahan topan, karena tingkahmu perihal perasaan belum bisa aku menangkan.

Meski ku tahu, laki - laki adalah pemilik paling sahih untuk rasa bernama gengsi, tetapi saat itu aku serupa dirimu hanya saja lebih amatir. Bukan menolak, bukan pula berarti kau kalah telak. Hanya saja ada batasan setebal rambutmu yang tak bisa aku langkahi. Aku bahkan seperti minyak yang tak hancur dalam kelu lidahku sendiri, ketika kau tak mengerti dan memilih pergi.

Kini kau biarkan hari - hari berlalu kosong, dan di sana aku menyadari ada banyak lembaran kisah yang mati suri hingga kerap pengabaianmu kutampung dalam payung kemudian ku sanjung. Betapa rindu mengubahmu tak lagi menjadi tokoh pahlawan di televisi yang tak bisa kumiliki dalam kata sehari. Aku tak mengerti, memang begini atau kau sedang menguji, ada sakit yang kutelan bulat - bulat di setiap kepingan bahagia yang kau bangun dengan wanitamu kini.

Aku iri pada dunia yang mengecup keningmu setiap hari, sedang di sini segala doa takut untuk ku amini. Ingin ku pasung waktu yang menelan percakapan biasa dan tingkah kita yang belum sampai pada makna bersahaja. Dan ingin rasanya aku menenggak penuh raksa untuk membekukan nihil dirimu di balik jendela. Kepergianmu begitu perkasa, tak menyisakan apa - apa. Bahkan tak kau sisakan senja di kelopak mata. Sudah lama pelukan semesta tak lagi sama, karena benci dulu aku yang melepasnya. Pernahkah terpikir olehmu untuk mengakhiri segala benturan ini ? Apa aku harus mati dulu di lirih penyairku sendiri ?

Untuk aku yang gemar mengembalikan jika dalam kata,

Tidak lagi bergelas - gelas doa kurentangkan pada kilometer wajah kita, sebab tragedi dua puluh hampir menjamah dada, membuatku sadar bahwa jarak hanya cerminan usia. Segala angka hanya membuat sesak dengan rantai yang melilit hancur cinta di leher kita. Bukan kita-aku-untuk gemar mengandaikan jika. Ah! Dulu kau buatku percaya seiring tirai bioskop terentang pelan mengubur cerita hingga akhirnya kini yang ada hanya jeda.

Kini, aku telah lelah melompati logika yang tak jati meski kutahu kau kini sendiri. Bisa kau teriakkan di mana seharusnya aku berhenti?

Aku berhenti menyalahkan waktu yang begitu muda. Cinta kita serupa riuh bocah - bocah pukul sembilan yang tenggelam di balik roda - roda. Tuhan sedang bercanda, dan seharusnya yang kulakukan hanyalah tertawa. Lalu biarkan aku percaya, kita lebih memilih jatuh di hati masing - masing dalam diam yang paling suci. Aku akan ikuti apa yang hendak kita bunuh diam - diam dalam jika yang paling belati untuk menutup kemungkinan - kemungkinan memeluk langit.

Aku biarkan surat - surat memerah di Januari yang harum dan berduri, tergeletak perih di kursi putri Nabi. Aku gadaikan kembali kata jika. Pada kepulanganmu nanti, akankah kau ingat aku; Fatimah, wahai Ali?



Untuk "EL"


Komentar