Suaramu

Tidak usah ragu. Padahal dari awalnya, kamu telah sadar,  lampiaskan saja kekesalanmu itu. Di depanku. Daripada harus menghilang, menghindar kejam, membuat aku mencari-cari. Dari apa yang kulihat, perhatianku yang masih berhasil kamu curi, kamu sudah tinggalkan semua. Sampai lupa mengajariku agar bisa secepat kamu, melupakan, meninggalkan semuanya yang dulu ada dan kita harap akan berlanjut. Aah, suaramu. Tiba-tiba aku teringat suaramu yang lembut, yang intonasinya bisa kau tempatkan sesuai situasi. Kamu bisa berbicara keras dengan teman-teman laki-laki mu, tapi ketika dengan wanita, begitu juga aku. Kamu bisa melemahlembutkan suaramu. Membuatnya menjadi sesuatu yang memang harus diingat bukan untuk ditinggalkan.

Suaramu menjadi begitu penting untukku. Menggantikan ragamu yang tak lagi utuh, pergi menjauh dari hadapanku. Suaramu menjadi satu-satunya yang tersisa, yang hadir liar ketika kamu kurindukan. Kenangan suci yang tidak bisa aku lupakan. Kamu tau? Yang paling kuingat ketika kamu menyebut namaku, memanggilku. Walaupun aku tidak tau apakah ada perasaan dalam bibir tegasmu ketika menyebut namaku. Yang jelas, ketika gelombang udara itu yang kau hembuskan menjadi intonasi berirama lembut, namaku menjadi sakral di telingaku. Aku merasa namaku menjadi sesuatu yang harus kau leburkan setiap hari dalam serak suaramu. Menegaskanmu begitu sifat kebapak-an tanpa menghilangkan kesan lembut romantis dalam dirimu. Suaramu mencerminkanmu betapa kamu memiliki ketegasan yang kau tunjukkan dengan kesopananmu, penghormatanmu, yang mampu membuatku nyaman dan terlindungi.


Godaan-godaan kecil yang kau berikan. Yang sengaja kau lontarkan untuk menghancurkan jarak aneh yang kusebut canggung. Untuk menghangatkan kebersamaan yang dingin ini. Agar kita bebas berbicara tanpa berpikir pantas atau tidak. Permulaan untuk saling menerima kekurangan masing-masing yang bisa kita perbaiki jika kita bersama. Permulaan yang tak kita temukan jalan akhirnya. Bercabang, membuat kita kebingungan mencari arah. Memutuskan untuk berpisah, memeriksa masing-masing jalan dan akhirnya tersesat. Hanya suaramu yang memanduku. Menguatkanku untuk menemukan cahaya terang di ujung sana. Hanya suaramu yang pada akhirnya keluar bersamaku. Di mana kamu? Kutunggu tak muncul, ku nanti tak kunjung datang.

Ternyata jalan bercabang yang kau tempuh memiliki cabang lain yang akhirnya kau ambil. Terang di ujung yang dapat kau temukan dengan mudah tetapi justru semakin menjauhkan kita berdua.

Komentar