MAKALAH FILSAFAT TEORI KEBENARAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebenaran
Kebenaran adalah
satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi
fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara
tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu
sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping
itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah
dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada.
Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun
yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah
perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam
dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu
pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu
bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan
sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti
(begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas
dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan
dalam satu kesatuan system.
Tampaknya
anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan
pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan
manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak
atau menerima suatu produk pemikiran manusia.Maksud dari hidup ini adalah untuk
mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah
kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan
yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan,
makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi
(relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu
sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara,
dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh
kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan
Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya
itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek
obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.
Meskipun
demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan
demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia
yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang
terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran
yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar
jangkauan manusia.
Kebenaran dapat
dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran
metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan
antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi
bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara
pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan
yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri
kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang
menyatakannya.
2.2 Teori-Teori Kebenaran
Ilmu pengetahuan
terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni kebenaran ilmiah. Ada banyak
yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidak semua hal itu langsung kita
golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya
pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang
sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang
dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat
beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :
1. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori
Persesuaian)
Ujian kebenaran
yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita
obyektif (fidelity to objective reality).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi
suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan
itu berkores- pondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut.
Menurut teori
koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung
terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung
kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan
sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan
itu salah. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan
dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah
persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatu pernyataan
dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang
diungkapkan dalam pernyataan itu.
Kebenaran
sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran
suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan,
proposisi atau teori didukung fakta atau tidak. Suatu ide, konsep, atau teori
yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi
pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan
yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi
teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah.
Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya
ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespondensi (corespondence theory of truth), menerangkan
bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada
lima unsur yang perlu yaitu :
· Statement
(pernyataan)
· Persesuaian
(agreemant)
· Situasi
(situation)
· Kenyataan
(realitas)
· Putusan
(judgements)
2. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (Teori
Keteguhan)
Berdasarkan
teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan
itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika..
Salah satu
kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran
suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan
lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya,
kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan
sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga
akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite
regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.
Karena itu,
kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini
penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai
kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu
mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas.
Kita cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi
lainnya, kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran
pernyataan tersebut.
Kelompok
idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka
tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial
bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu
lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan
antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3. Teori
Pragmatik
Teori pragmatik
dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit
pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.
Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John
Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility),
kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan, Sehingga dapat dikatakan
bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan
dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan
manusia.
Kriteria
pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang
dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan
masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya
pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu
sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :
· Yang
benar adalah yang memuaskan keinginan kita,
· Yang
benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
· Yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena
teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih
bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori
tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran
adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta
pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan
situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya
dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
Menurut teori
pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”.
William James
mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang
“berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan
tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau
kepentingan manusia. Oleh karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika
suatu ide diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini
dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda
dari ide yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James,
ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi
memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide
yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.
Teori kebenaran
pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu
dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut
bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis.
BAB III
KESIMPULAN
Semua teori
kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia Uraian dan ulasan
mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan
kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran mempunyai Kelebihan
Kekurangan. Dari bebera-
pa Teori Tentang
Kebenaran dapat disimpulkan :
Teori
Korespondensi : "Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan
halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan
teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan
membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan
dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (corespondence), maka preposisi tersebut
dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
Teori
Konsistensi: "Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain,
yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu
sendiri ". Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan
fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan
yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran
menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan
membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar.
Teori Pragmatis
: "Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya
itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ". Teori
pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah
ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut
sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
Komentar
Posting Komentar