makalah agama kebudayaan islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Prinsip Kebudayaan Islam (Definisi dan
Konsep Budaya)
Islam
mengandung ajaran utama sebagai syari’ah dan memotivasi umatnya untuk
mengembangkan kebudayaan Islam, yaitu kebudayaan yang mencerminkan nilai
Islami. Perkembangan kebudayaan dipahami dengan berkembangnya kesenian, karena
kesenian adalah salah satu produk dari kebudayaan itu sendiri.
A.L.
Kroeber dan Clyde Kluchohn mengelompokkan definisi kebudayaan ke dalam enam
kelompok sesuai tinjauan dan sudut pandang pembuat definisi :
1. Pendekatan
deskriptif (kandungan isi), menurut Taylor, kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum , moral, dan
berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai masyarakat.
2. Pendekatan
historis (warisan sosial dan tradisi kebudayaan), menurut Park dan Burgess, kebudayaan
adalah totalitas dari organisasi dan warisan sosial yang diterima sebagai
sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu
bangsa.
3. Pendekatan
normatif, menurut Ralph Linton, kebudayaan adalah pandangan hidup dari sekumpulan
ide dan kebiasaan yang dipelajari dan dimiliki, kemudian diwariskan dari satu
generasi ke generasi lainnya.
4. Pendekatan
psikologi (penyesuaian diri dan proses belajar), menurut Klukhohn, kebudayaan
terdiri atas semua kelangsungan proses belajar masyarakat.
5. Pendekatan
struktural (pola dan organisasi kebudayaan), menurut Turney, kebudayaan adalah
pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia berfungsi membentuk pola umum
dan melangsungkan penemuan (material dan non material).
6. Pendekatan
genetik (produk dari kebudayaan), menurut Bidney, kebudayaan dipahami sebagai
proses dinamis dan produk pengolahan manusia dan lingkungannya untuk pencapaian
akhir individu dan masyarakat.
Kebudayaan
melekat pada diri manusia, manusialah sebagai pencipta kebudayaan dan lahir
bersama kebudayaan. Dari penjelasan di atas, kebudayaan dilihat dari dua sisi :
kebudayaan sebagai suatu proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Menurut
Soemardjan, kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Karya adalah hasil teknologi dan kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh
manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Rasa adalah jiwa manusia dalam
mewujudkan segala kaedah dan nilai kemasyarakatan. Cipta adalah kemampuan
mental dan berpikir dengan menggunakan filsafat serta ilmu pengetahuan yang
dimanfaatkan untuk menghasilkan teknologi.
Kebudayaan
adalah pola cita masyarakat yang mengatur tata hubungan masyarakat yang
menentukan aturan, kaedah normatif, dan menggariskan pola tingkah laku
masyarakat. Pola tingkah laku adalah
perwujudan dari kepribadian masyarakat yang digariskan oleh pola cita yang
bersumber dari kebudayaan. Kepribadian adalah organisasi faktor biologis,
psikologis dan sosiologis yang mendasari prilaku individu. Islam mengatur dua
pola hubungan, yaitu yang pertama hubungan manusia dengan Allah dan yang kedua,
hubungan manusia dengan dengan makhluk lainnya. Kebudayaan Islam adalah pola
tingkah laku manusia yang bersumber dan bercorak pada pola tingkah laku yang
dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah. Pola tingkah laku tersebut meliputi
hal-hal sebagai berikut :
1.
Ketakwaan, beriman,
cinta, dan takut kepada Allah SWT.
2.
Penyerahan diri
3.
Kebenaran
4.
Keadilan
5.
Cinta (kasih sayang)
terhadap makhluk Tuhan dan diri sendiri.
6.
Keindahan
Kebudayaan
terkait dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu memiliki dimensi tempat,
waktu, gerak dan arah. Tempat,
kebudayaan masyarakat kota belum tentu lebih baik dari kebudayaan di desa. Waktu, kebudayaan empat belas abad yang
lalu belum tentu lebih rendah dari kebudayaan masa sekarang. Gerak dan arah, kebudayaan bisa bergerak
lebih maju atau mundur dan lebih baik atau lebih buruk tergantung dari
penggerak kebudayaan tersebut.
Prinsip
kebudayaan dalam pandangan Islam memiliki dua model yaitu membangun atau
merusak. Keduanya hidup dan berkembang saling berganti. Di samping itu juga,
adanya ruh (jiwa) dan ruh itu adalah wahyu Allah (Al Qur’an menurut Sunnah
rasul-Nya). Jika ruh budaya adalah wahyu Allah, maka kebudayaan bergerak ke
arah membangun dan jika ruh kebudayaan bukan wahyu Allah, maka kebudayaan cenderung
bergerak ke arah yang merusak (destruktif).
2.2. Hubungan Agama dan Budaya
Sebagai sebuah
kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena
keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai
ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai simbol agar manusia
bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan simbol, artinya agama memerlukan
kebudayaan. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final,
universal, abadi dan tidak mengenal perubahan. Sedangkan kebudayaan bersifat
partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat
berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai
kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Agama dan
kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu keduanya adalah sistem nilai dan
sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan.
Agama, dalam perspektif limu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat
sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam
menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan
menafsirkan dunia sekitar. Sementara kebudayaan merupakan ekspresi cipta,
karya, dan karsa manusia yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas,
wawasan filosofis dan kearifan lokal.
Dari sudut
pandang Islam, kebudayaan itu terbagi menjadi tiga macam: Pertama, kebudayaan yang tidak
bertentangan dengan Islam. Kedua,
kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian
direkonstruksi sehingga menjadi Islami. Ketiga,
kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Satu hal yang
harus disadari bahwa asas dari budaya Islam itu adalah menumbuhkembangkan
kesadaran berketuhanan. Maka dari itu, apapun bentuk manivestasi dari budaya
Islam tersebut didasari dan dimaksudkan untuk tegaknya nilai-nilai ketuhanan
pada setiap manusia dan tujuannya tidak lain dalam rangka mencari keridhoan
Tuhan.
2.3. Karakteristik
Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam dapat dibagi menjadi dua
aspek. Aspek pertama didasarkan pada metode-metode ilmiah dan kemampuan rasio,
dan aspek kedua, didasarkan pada ajaran Islam yang normatif, pemahaman
subyektif, dan pemikiran metafisik.
Dalam perspektif Islam, kebudayaan dikembangkan
dalam dunia manusia, berkaitan pula dengan kenyataan penciptaan oleh Allah.
Proses ini tidak sekali jadi, melainkan melalui proses penciptaan (khalq),
penyempurnaan (taswiyyah) dengan cara memberikan ukuran dan hukum
tertentu (taqdir), dan juga diberikan petunjuk (hidayah).
Islam sebagai agama haq disusun atas
dasar tiga komponen, yaitu: komponen ”batiniyah” yang merupakan esensi ajaran
tauhid; komponen ”simbolik” yang merupakan bentuk ibadah yang bersifat
internal, dan komponen ”muamalah” yang merupakan ekspresi dari din al-Islam.
2.4. Bahasa
Sebagai Medium Budaya Dan Agama
Bahasa adalah perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa
isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan
bicaranya. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan
dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Dalam Islam kita diwajibkan untuk
menggunakan bahasa yang santun dalam kehidupan sehari-hari.
Alquran diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk
yang memerlukan komunikasi. Oleh karena itu, Alquran memberikan tuntunan
berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi manusia. Dalam hal berkomunikasi,
ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya.
Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa berbahasa santun menurut ajaran Islam tidak dipisahkan dengan nilai dan norma sosial budaya dan norma-norma agama. Kesantunan berbahasa dalam Alquran berkaitan dengan cara pengucapan, perilaku, dan kosakata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi (lingkungan) penutur, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut: “... dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (QS. Lukman: 19)
Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa berbahasa santun menurut ajaran Islam tidak dipisahkan dengan nilai dan norma sosial budaya dan norma-norma agama. Kesantunan berbahasa dalam Alquran berkaitan dengan cara pengucapan, perilaku, dan kosakata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi (lingkungan) penutur, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut: “... dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (QS. Lukman: 19)
Melunakkan suara dalam ayat di atas mengandung pengertian cara
penyampaian ungkapan yang tidak keras atau kasar, sehingga misi yang
disampaikan bukan hanya dapat dipahami saja, tetapi juga dapat diserap dan
dihayati maknanya. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa Alquran mendorong manusia
untuk berkata santun dalam menyampaikan pikirannya kepada orang lain.
Kesantunan tersebut merupakan gambaran dari manusia yang memiliki kepribadian
yang tinggi, sedangkan orang yang tidak santun dipadankan dengan binatang. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan
suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati
mereka oleh Allah untuk bertaqwa.” (QS. Al-Hujurat: 3)
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa berbahasa santun adalah mengucapkan kata-kata dengan cara merendahkan suara. Suara yang rendah (tidak dengan suara lantang atau keras) merupakan gambaran hati yang halus dan lembut. Ayat ini memiliki makna bahwa bersuara rendah ketika berbicara dengan orang yang dihormati merupakan bentuk ciri berbahasa yang menggambarkan orang yang takwa.
Dalam ayat yang lain Alquran menyebutkan: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua orang tua perkataan `ah’ dan jangan kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23). Dalam ayat ini kesantunan berkaitan dengan orang yang diajak berbicara. Pembicaraan yang santun adalah pembicaraan yang sesuai dengan orang, situasi, dan kondisi lingkungan yang diajak bicara.
Bicara dengan orang tua dilakukan dengan menempatkan mereka pada posisi yang tinggi dan terhormat karena pemilihan kata dan cara mengatakannya disesuaikan dengan kehormatan yang dimilikinya. Jadi, kata ‘ah’ saja dalam berbicara dengan orang tua merupakan perkataan terlarang atau tidak santun. Oleh karena itu, dalam konteks ini tutur kata yang dianjurkan adalah kata-kata yang berkonotasi memuliakan kedua orang tua.
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa berbahasa santun adalah mengucapkan kata-kata dengan cara merendahkan suara. Suara yang rendah (tidak dengan suara lantang atau keras) merupakan gambaran hati yang halus dan lembut. Ayat ini memiliki makna bahwa bersuara rendah ketika berbicara dengan orang yang dihormati merupakan bentuk ciri berbahasa yang menggambarkan orang yang takwa.
Dalam ayat yang lain Alquran menyebutkan: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua orang tua perkataan `ah’ dan jangan kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23). Dalam ayat ini kesantunan berkaitan dengan orang yang diajak berbicara. Pembicaraan yang santun adalah pembicaraan yang sesuai dengan orang, situasi, dan kondisi lingkungan yang diajak bicara.
Bicara dengan orang tua dilakukan dengan menempatkan mereka pada posisi yang tinggi dan terhormat karena pemilihan kata dan cara mengatakannya disesuaikan dengan kehormatan yang dimilikinya. Jadi, kata ‘ah’ saja dalam berbicara dengan orang tua merupakan perkataan terlarang atau tidak santun. Oleh karena itu, dalam konteks ini tutur kata yang dianjurkan adalah kata-kata yang berkonotasi memuliakan kedua orang tua.
Dalam pembinaan bahasa santun, isi pendidikannya adalah nilai-nilai yang
dipegang secara kokoh oleh masyarakat, yaitu nilai agama dan nilai budaya.
Bahasa seperti itu akan sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya
karena sifat agama memberikan nilai-nilai dasar bagi manusia di mana pun dan
kapan pun manusia berada. Pada masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam, norma yang digunakan masyarakat merujuk pada nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian dapat diambil sebuah garis besar bahwa cara pengungkapan bahasa yang baik menurut Alquran sejalan dengan pengertian berbahasa santun, bahkan memperluas dan mengembangkannya secara operasional sehingga bahasa santun yang bersifat normatif dapat dipelajari dan dilaksanakan karena karakteristiknya sangat jelas.
Dengan demikian dapat diambil sebuah garis besar bahwa cara pengungkapan bahasa yang baik menurut Alquran sejalan dengan pengertian berbahasa santun, bahkan memperluas dan mengembangkannya secara operasional sehingga bahasa santun yang bersifat normatif dapat dipelajari dan dilaksanakan karena karakteristiknya sangat jelas.
2.5. Sejarah Intelektual Islam
Menurut
Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual islam
dapat di kelompokan ke dalam tiga masa, yaitu:
1.
Masa
Klasik (650-1250 M)
Kemajuan
umat Islam di mulai sejak dilakukannya ekspansi oleh dinasti Umayyah yang
menimbulkan pertemuan dan persatuan berbagai bangsa sejalan dengan itu lahir filosof
muslim pertama berkebangsaan arab, pada tahun 801 M bernama Al-Kindi. Ia
berpendapat bahwa kaum muslimin menerima filsafat sebagai bagian dari
kebudayaan Islam. Lalu filosof besar seperti Al-Razi dan Al-Rarabi yang dikenal
sebagai pembangun sistem filsafat. Adapula filosof agung Ibnu Miskawaih yang
terkenal dengan pendidikan Allah.
Pada
masa klasik, seorang raja dinasti Abbasiah, yaitu Al-Ma’mun sebagai raja yang
cendikiawan, memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan dan banyak dilakukan
penerjemahan ilmu pengetahuan. Pada masa dinasti Umayyah, Abdurrahman
mendirikan pusat pemerintahan di Cordova, masjid, universitas dan perpustakaan.
Sedang di Mesir, seorang Jenderal khalifah bernama Jasuhar Al-Saqili mendirikan
masjid Al-Azhar yang kemudian menjadi universitas serta Darul Hikmah sebagai
pusat kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan.
2.
Masa
Pertengahan (1250-1800 M)
Masa
ini dicatat sebagai masa kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat
Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman
dengan ilmu, dan dunia dengan akhirat. Kemunduran yang terjadi banyak
disebabkan oleh konflik internal di kalangan para aktor dalam kerajaan Islam,
sedangkan pada masa itu Barat mulai bangkit.
3.
Masa
Modern (1800 M sampai sekarang)
Merupakan
masa kebangkitan umat Islam. Pertama, memurnikan ajaran Islam dari unsur yang
menyebabkan kemunduran umat Islam. Kedua, menyerap pengetahuan barat untuk
mengimbangi pengetahuan mereka dengan mengirim pelajar ke Eropa. Ketiga,
melepaskan diri dari penjajahan bangsa Barat. Walaupun semua alternatif
tersebut mengundang pro dan kontra.
Upaya
untuk maju terus dilakukan lepas dari penjajahan secara hakiki terus di
perjuangkan dengan cara merevolusi pandangan yang tidak Quraini menjadi pandangan
dengan Al-Qur’an menurut sunah Rasul.
2.6. Masjid Sebagai Pusat Peradaban Islam
Masjid
di zaman nabi berfungsi sebagai pusat peradaban, tapi sangat disesalkan masjid
kemudian mengalami penyempitan fungsi. Di Indonesia kondisi ini terjadi sejak masa
penjajahan Belanda namun pada perkembangan berikutnya mulai tumbuh kesadaran
umat untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.
Konsepsi
tentang masjid sejak masa-masa awal didirikan hingga sekarang tidak akan pernah
berubah. Dalam syariat Islam masjid memiliki dua fungsi utama, yaitu : pertama
sebagai pusat ibadah ritual dan kedua berfungsi sebagai pusat ibadah sosial.
Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya fungsi utama masjid adalah sebagai
pusat pembinaan umat Islam.
2.7. Nilai-Nilai Islam Dalam Budaya Indonesia
Pada
awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia, dirasakan sangat sulit membedakan mana
ajaran Islam dan mana budaya Arab. Masyarakat menyamakan antara perilaku yang
ditampilkan orang Arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah apa yang dilakukan
orang Arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam
perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya. Kehebatan
para wali yaitu kemampuannya mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya
setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk
dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai
Islam sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, seperti
upacara adat dan penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa Arab sudah banyak masuk
ke dalam bahasa daerah, bahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Hal ini
tanpa disadari apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran Islam.
Komentar
Posting Komentar