Hari Ibu Di Jalanan


Pulang kuliah, 15.40, metromini.
Gerimis menyentak, setelah beberapa saat hujan turun deras berduyun-duyun mencumbui tanah. Percikan-percikan airnya seolah menunjukkan kebahagiaannya mampu menyentuh bumi, mampu mendekap apa yang kupijak. Melihat kemesraan mereka, memikirkan filosofi keduanya, membuatku mau tidak mau mengingat kamu. Tanah yang keras melembut ketika hujan memeluknya. Meskipun hujan bukan lagi milik kita, tetapi aku masih merasakan kamu di setiap tetesnya. Aroma tanah basah semakin menjebakku dalam kenangan yang kita ciptakan bersama hujan. Lalu secepat berkedip, gerimis mencairkan suasana. Ini bukan lagi tentang hujan, kamu dan kita. Aku berlari-lari kecil keluar dari gedung, menciptakan gerakan otomatis mengangkat sebelah tangan menutupi kepala. Langkah kakiku yang cepat menyibak-nyibakkan air dari genangan yang diciptakan hujan, menyisakan kenangan untuk tanah. Sesampainya di halte, aku membersihkan pakaian dengan sapuan-sapuan kecil tangan yang dingin. Hanya gerakan sekadarnya meskipun tau tidak akan mengeringkan, juga menghangatkan. Entahlah… semacam gerakan apa itu, refleks mungkin. Menunggu angkutan umum bersama orang-orang yang berteduh dan para mahasiswa lain untuk pulang ke peraduan masing-masing.

Metromini datang, aku dan beberapa mahasiswa lain masuk ke dalam kendaraan yang bisa disebut dengan bus ini. Lalu lintas macet, jalan basah dan udara yang lembab, menjadi perpaduan yang akan kurindukan ketika jauh, setelah tugasku sebagai perantauan selesai. Besi-besi mobil yang reot saling beradu dan mesin yang menderu-deru seolah berteriak minta diganti yang baru.  Rutinitas seperti ini seringkali membuatku tersenyum-senyum sendirian dibalik masker yang kugunakan.  Tidak mengerti alasan tepatnya, hanya saja lucu melihat jalanan yang padat oleh kendaraan yang lalu lalang, bunyi klakson yang saling bersahutan, teriakkan para kenek yang menjajakan angkutan umumnya begitupun dengan pedagang asongan. Ah… betapa meriahnya. Tidak berapa lama, metromini berhenti sebentar di bypass, masih mencari-cari penumpang demi perut kenyang orang-orang di rumah. Begitu pelik kehidupan di dunia ini kawan! Orang-orang yang berjalan kesana-kemari dengan kepentingan masing-masing yang semuanya ingin dipentingkan, ingin dinomorsatukan. Tiba-tiba bum! Bum! Bum! Terdengar lompatan seseorang ke dalam metromini. Pengamen jalanan. Dengan celana SD lusuh dan kaos bergambar tokoh power ranger yang kebesaran, ia terbata-bata memberikan kata pengantar sebelum memulai pertunjukkan seni sederhananya. Kata pengantar… mengingatkanku dengan tugas kuliah yang menumpuk.

Dengan pakaian yang basah, kau tersenyum manis kepada setiap penumpang. Tubuh menggigil tidak menyurutkan semangatmu untuk menghibur dan sesuap nasi. Kau mulai memetik gitar yang tak lagi sempurna. Beberapa senar hanya diganti dengan karet gelang, menghasilkan suara yang sember berpadu syahdu dengan lantunan lagu yang kau dendangkan. Suaramu bergetar, entah kedinginan atau memang merdu, membuatku terpesona dengan seniman membumi sepertimu. Sesekali kau bertingkah lucu dengan menggerakkan badan ke kanan dan kiri. Besar gitar yang tidak sepadan dengan tubuh mungilmu tampak terombang-ambing kesana-kemari. Kamu berhasil membuatku atau mungkin seluruh penumpang masuk ke dalam lirik yang kau nyanyikan. Suaramu yang sarat dengan kepedihan seolah mengabarkan bahwa kaulah orang yang melihat langsung siluet seorang ibu yang diceritakan oleh Iwan Fals. Sampai kau pada lirik  sontak aku melihat kakimu tanpa alas. Kulitnya yang mengeriput dan kuku kaki yang membiru kedinginan sama sekali tidak menyurutkan semangatmu. Seolah kau berhasil memanas-manasi udara dingin yang menusuk tulang melalui perjuanganmu dari metromini satu ke metromini lainnya.

Sebagai penutup, kau membuatku terharu saat kau ucapkan selamat hari ibu kepada seluruh penumpang dan mencium tangan kami satu persatu dengan senyum polosmu. Andai hidup sesimple senyuman dari para tubuh kecil dan tangan mungil itu. Satu lagi kepelikkan di dunia, kawan… begitu ribetnya kehidupan karena keangkuhan setiap manusia yang membuat setiap masalahnya semakin kompleks. Menjunjung tinggi persepsi sombong pada setiap partikel yang bahkan baru mereka lihat. Hanya dengan berkedip. Belum ada jabat tangan, senyum hangat dan ucapan basa-basi sudah membuat manusia seolah mengenal luar dalam manusia lainnya. Seringkali manusia terjebak dalam kesan pertama yang mereka ciptakan sendiri, lalu berhenti sampai di situ tanpa berusaha masuk lebih jauh untuk melihat keajaiban tangan Tuhan yang ada dibalik prasangka mereka sendiri. Kesan pertama itu memang penting… tetapi bukan berarti semuanya berhenti sampai di situ.

Kembali lagi pada sosok sang maestro jalanan. Menurutku, kalian adalah seniman sejati. Kalian bersuka cita dalam lagu sedih dan hebatnya mampu membuat kami, para penumpang, larut dalam kepedihan lagu yang kalian obralkan. Justru kalianlah seniman anggun nan elegan yang menorehkan estetika pada bumi yang bulat, pada dunia yang tak menunjukkan keindahannya pada kalian. Kalian seniman mahal yang berhasil mengajak alam ikut bersenang-senang, daripada seniman yang dibayar mahal tetapi kreativitas mereka terbelenggu dalam persegi layar kaca yang monoton dan membosankan. Sebelum kau turun, tidak lupa kau ucapkan terimakasih kepada seluruh ibu di dunia dan mengingatkan para penumpang untuk mengucapkan kepada ibu sesampainya di rumah nanti. Akhirnya tubuh kecil itu pergi berlari-larian, menunggu persegi-panjang-berjalan lainnya yang akan berdatangan. 'Kotak besi' berjalan sumber penghasilan untuk makan dan juga pendidikan. Apa yang kalian lakukan bukan hanya sekedar tuntutan zaman, tetapi juga suatu kebanggaan pada ketetapan berjalan dalam kebaikan.

Ah… andai mereka, orang-orang gedongan, sudi turun ke jalanan ikut merayakan dan memaknai hari ibu bersama mereka...

Komentar