Kecemasan di balik jendela



Meski kini langkahmu berjeda, biarkan angin membawamu kepada gulita paling pagi agar kau tahu bahwa Tuhan begitu jenaka menggelitikmu di antara keunguan kuku-kukumu. Kau tak perlu memaksa agar mereka tahu bahwa kau memelihara samudra di mata dan hatimu yang bersinar ketika kau merayu Tuhan. Jika kau lelah dengan kayuhanmu di kolam kecemasan, tenggelamkan dirimu dalam kepala yang lebih bergemuruh karena ombak menerka-nerka kenapa riuh dan sunyi di antara siang dan malam tak bisa kau genggam dalam lipatan sepuluh jarimu. Hatimu lebih tahu ia yang kau cinta belum bisa menerka cahaya di senyummu, maka tepat pukul satu ketika Tuhan benar-benar luluh kau akan menyadari bahwa airmatamu telah tenggelam dalam kebisuan paling diam sebab Dia telah melapangkan pandangmu.

Betapa kutahu pertanyaan-pertanyaan yang deras dan tatapmu yang selalu tertuju ke arah 1; ia yang melepas ikatan di sayapmu yang patah, menjadi lelucon oleh waktu yang lewat. Kulihat kau menyimpul luka-luka, menggores pikiran, dan mendekap langkah hingga kau tersesat dalam diam rahasia. Betapa kupaham, kau seringkali memorakporandakan tujuan demi memilah isi kepala agar doa yang kau seduh mampu mendekap ia yang tak pernah menjadikanmu pulang. Bukankah kau seharusnya percaya kepada makna gelisah dari kau bersujud lebih lama?

Berhentilah wahai perempuanku,
Sungguh ingin kupeluk dirimu lebih lama dari usia agar tatap hitam yang selalu kau senandungkan dapat terhapus senyap indah yang dinyanyikan oleh malam. Barangkali bukan mereka yang butuh genggaman dari tengadah seorang hamba, namun kau yang butuh diseka matanya agar langkahmu kembali mengenal gerak. Meski kau mengunyah cemas berkepanjangan hingga kau berulang tak bernyawa, ia tetap menjadi garis di batas keinginan. Lalu adakah kuatmu sebagai upaya bertahan mampu membuat Tuhan meminta lepas?

Kau pantas bahagia, meski rupamu tak dapat bersanding dengan pelangi, barangkali, kau ialah senja di cuaca paling hitam yang dinantikan oleh para doa. Angka-angka terus berganti, dan usia adalah usai yang pasti meski tak dinanti. Kokohkan langkahmu agar kau tetap jati diantara pikiran yang ingin mematahkan tujuanmu. Rajutlah lebih banyak sabar untuk setiap kata-kata yang kau lepas di udara dan termakan oleh kabut pekat yang menarikmu dari peluang di jendela.

Mereka atau ia hanya tak tahu, kau melanjutkan hidup dari cangkir-cangkir kopi di tengah kota yang kerap dibunuh oleh roda-roda. Jika ia tak juga mengerti atau tak satupun mencintaimu, biarkan aku saja yang melakukannya.


Komentar