Dongeng untuk Raja
Terimakasih.
Kaulah jawaban atas segala yang tak pernah kupertanyakan. Selepas senja, kau
bawa aku untuk melunasi hasrat Maghrib berdua. Kau adalah bayangan itu,
bayangan yang kutunggu di ujung sajadahku. Satu shaf di belakangmu adalah jarak
yang paling kusyukuri. Setelahnya dua cangkir kopi dan sekaleng kerupuk kulit
menjadi saksi saat kau letakkan nafasmu di ujung keningku. Kau adalah garis
petang yang tak pernah ingin kusudahi. Kau mencuri segala sunyi dalam malamku
yang sepi. Kau hangatkan pagi kala mendung melangkahi matahari.
Kau adalah
sebuah keinginan yang tak terdengar. Membangunkan doa-doa di balik pintu yang
deritnya tak lagi muda. Kau tetaplah seorang kepala keluarga yang lucu seperti
biasa. Kau seringkali lupa memakai baju hingga malam menjelma terang di
sela-sela sepah kelapa, atap rumah kita. Kemudian, dua bintang yang kau petik
kala usiaku masih muda menertawaimu selebar bakul nasi yang kau biarkan tumbuh
di tungku api, bukti bahwa kau kini seorang ayah.
Kau
jadikan aku cakrawala di antara bulan dan cahaya agar segala resahku bahwa
wajah bukanlah perihal manis atau maja, akan pulang kepada senyummu dan dua
raja. Seringkali aku tidak tahu harus berbuat apa, ketika dirimu lebih memilih
melacur kepada laut dibandingkan menjamah rinduku yang cemas di balik
pergantian senja. Kau akan terus menggoda laut, bersinar di cuaca paling hitam,
hingga hujan di mataku tak lagi mengenal samudera. Telah kuselipkan
berlembar-lembar doa di balik rantang nasi yang kau bawa. Kutitipkan rindu di
bawah sendal jepit yang kau kenal sebelum berisik di dapur kita. Yang akan
mengingatkanmu akan pulang sebab belum terkikis wangi
airmataku menyebut namamu lepas ku mendongeng untuk kedua raja.
Memang benar doa
adalah sebaik - baiknya tangan Tuhan, yang mendekap dengan kehangatan. Apalagi
jika kau senandungkan di kala bulan sedang telanjang. Menikmati malam sendiri
sambil menggelitiki pasir meski tawanya tak kunjung kudengar. Bayangan dirimu
memakai kemeja malam itu kerap kugantungkan di hari selasa sehingga kau
tetaplah menjadi sebuah rabu yang balik membuatku rindu. Seindahnya seperti
sepasang kekasih, yang menunggu-nunggu bertemu di malam minggu. Malam minggu
yang kita habiskan untuk mengayuh sepeda sebanyak usia kedua raja. Kau tahu aku
takut ketinggian, dan kau memaksa dengan wajah bayi usia tiga untuk naik
bianglala. Kalau sudah begitu aku bisa apa?
Untuk pertama kalinya,
jari manisku berpenghuni, tepat ketika kita berada di puncak bianglala. Cincin
bersimbol perahu, hasil jerih payahmu memeras kota beberapa waktu sebelumnya.
Pantas, lama aku tak melihat kau membelah siang, memorakporandakkan kerajaan di
balik batu dan gunung. Rupanya kau menjelma kuda di negeri orang sebagai
persiapan untuk mengajakku ke dalam pelayaran selanjutnya.
Kini, bersama kedua
raja, kita tak ubahnya puisi-puisi kelas menengah ke bawah yang rela menjadi
remang murahan di cangkir-cangkir balai desa. Ketika semua memuja lampu-lampu
ibukota, sebungkus kacang rebus dan layar tancap masih menjadi kencan paling mahal
untuk kita. Namun, dari sanalah sajak-sajak melompat serupa anak domba
bergantian memutar ekornya agar bisa terlelap sebelum malam menjadi rupiah yang
hilang. Bergumul di antara pasir yang menunggangi pohon kelapa selama lebih
dari tiga dasawarsa. Merekalah yang paling menjaga kita.
Sudah lebih dari tiga
hari kau melaut, cepat pulang Yah. Para raja menunggu cerita dan aku, sudah
tentu menunggu hasil tangkapanmu agar piring-piring terisi di meja.
gambar: https://klinikagrominabahari.files.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar