PEMBUBARAN RSBI


8 Januari 2013, Mahkamah Konstitusi membuat keputusan dengan membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Keputusan ini dibuat terkait adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya seperti yang pertama, mahalnya biaya pendidikan di RSBI/SBI menyebabkan diskriminasi dan kesenjangan sosial karena hanya kalangan elitelah yang dapat menikmatinya. Hal ini menyebabkan adanya “kastanisasi” dalam pendidikan karena terkesan hanya yang mampu membayar, dialah yang dapat mengenyam pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan tujuan Indonesia dalam UUD 1945 alinea keempat “...mencerdasakan kehidupan bangsa...” dengan jaminan bahwa “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan” (pasal 31 ayat 1 UUD 1945) & “….Negara  wajib  membiayainya”(Pasal 31 ayat 2 UUD 1945).
 yang artinya setiap orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses pendidikan dengan tidak membedakan perlakuan antara yang berfasilitas baik dengan yang tidak. Selanjutnya penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di RSBI/SBI dinilai dapat melunturkan karakter/jati diri bangsa dan nasionalisme. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa tuan rumah dianggap kalah gengsi dengan bahasa asing. Hal ini menjadi ketakutan tersendiri karena nantinya generasi muda tidak lagi menjadi penerus pelestarian bahasa indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.
melihat fenomena ini, tidak membuat saya langsung memilih “ikut-ikutan” pro atas pembubaran RSBI/SBI ataupun kontra. Karena kenyataannya banyak sekali yang menjadi pro atas keputusan ini dan kalaupun saya harus memilih kontra akan terasa sia-sia karena toh nyatanya keputusan ini telah dibuat. Justru disini saya mencoba memberikan saran/solusi sebagai langkah yang harus diambil setelah pembubaran RSBI/SBI. Pertama untuk biaya pendidikan di RSBI/SBI yang dirasakan mayoritas sangat mahal sehingga menimbulkan kastanisasi, nah, terkait hal ini biaya tersebut digunakan untuk pembangunan sekolah (sarana dan prasarana). Kalau begitu kenapa pemerintah tidak menyetarakan saja sarana dan prasarana pendidikan baik untuk sekolah RSBI/SBI dan non RSBI/SBI. Selanjutnya kita bisa memberikan program beasiswa dengan prosedur yang lebih mudah sehingga siapa saja dapat mengaksesnya karena sayang sekali para siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik tetapi tidak mendapat akses pendidikan hanya karena biaya. Ironis, pendidikan berkualitas sekarang dianggap berbanding lurus dengan tingginya biaya pendidikan.
Lalu untuk penggunaan bahasa Inggris yang dianggap dapat melunturkan nasionalisme generasi penerus terdengar seperti bentuk keputus-asaan kita sebagai WNI. Kenapa ? menurut saya, banyak hal memang yang dapat memicu hilangnya nasionalisme dan tidak menutup kemungkinan penggunaan bahasa inggris termasuk di dalamnya. Tapi mengingat lagi di era globalisasi seperti sekarang ini, bahasa inggris termasuk ke dalam bahasa internasional, bagaimana para siswa yang seharusnya dapat bersaing di tingkat internasional(global) harus terhambat hanya karena minimnya kemampuan berbahasa inggris. Boleh-boleh saja bahasa inggris dijadikan sebagai bahasa pengantar, asalkan... tetap mengedepankan budaya Indonesia dengan cara lebih meningkatkan lagi pelajaran yang berkaitan dengan seni/budaya indonesia bisa berupa pelajaran pokok, ekstrakulikuler, dsb . Peran serta orangtua baik di sekolah ataupun rumah juga menjadi bagian penting dalam konteks ini. Mengenalkan sedini mungkin karakter/jati diri sebagai warga negera Indonesia agar ke depannya menjadi fondasi yang kuat ketika para siswa menerima budaya luar. Boleh saja para siswa terlihat kebarat-baratan “di luar”, namun “di dalam” dirinya dia tetap memegang teguh rasa nasionalisme dan melestarikan budaya Indonesia.
Pada akhirnya, kita sebagai masyarakat yang pro atau kontra atas pembubaran RSBI/SBI ini harus mengerti bahwa perbaikan mutu pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang selama perkembangannya pasti memiliki kelebihan maupun kelemahan. Pendidikan berkualitas tidak hadir secara instan, sempurna dan memuaskan semua orang tanpa bantuan dan dukungan dari seluruh masyarakat.

Komentar