Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Terima Kasih, Senang Mengenalmu.

Sabar ya aku lagi menulis cerita terakhir tentang kita. Iya. Terakhir. Aku sudah tidak mau lagi mengabadikan kamu dalam tulisanku. Kita tetap baik2 saja, tapi................................... Oke selesai. Ceritanya sudah selesai. Tidak bercerita tentang bagaimana kita, tapi tetap saja masih kamu 'kan tokoh utamanya? Kalau kamu ingin mengingat kembali bagaimana kita bisa saling mengenal, bagaimana k ita bisa bertemu untuk pertama kalinya, kamu bisa baca tulisan-tulisanku sebelumnya. Itu semuanya tentang kamu. Sekarang sudah cukup ya. Yang perlu kamu ingat, aku adalah orang yang beruntung bisa mengenalmu, bisa merasakan cinta yang kau berikan, bisa membuat iri orang-orang yang mengenal kita. Sudah tentu, aku bukan orang yang paham tentang bagaimana Tuhanmu, tapi jika benar Sinterklas itu ada, kamu  seperti hadiah yang salah kirim. Kamu adalah hadiah terindah yang pernah dititipkan Tuhan untukku, untuk kemudian dikembalikan kepada hati yang memang seharusnya untukmu. Salam...

Hanya Selasa Pagi...

Gambar
weheartit.com Tak ada yang istimewa pagi itu, seperti biasa kau menjemputku pukul setengah tujuh untuk berangkat ke kampus. Dalam perjalanan kau berbicara, samar-samar yang bisa ku dengar—kau ingin kita selesai. Selama perjalanan, aku berpegangan pada pada pinggangmu. Saat kau ucapkan itu, ku pukul pelan perutmu, ingin kau berhenti bercanda seperti itu. Kau bilang hari ini adalah hari terakhir kau me ngantarku. Tepat setelah kau ucapkan itu, kita sampai di pintu gerbang kampusku. Aku terdiam cukup lama, masih mencerna apa maksudmu, belum turun dari motor. Kau bisa saja menghilang, tapi kau memilih pamit—katamu. Kau tidak bisa mengatasi perbedaan kita, kau tidak ingin aku terluka lebih dalam jika segalanya dilanjutkan.  Siapa yang memintamu menyelesaikan semuanya? Lantas setelah kehilangan, apa aku akan bahagia dan tidak terluka? Kau tahu, keras kepalamu yang membuatku tergila-gila. Seolah kau tahu apa yang ku rasakan dan apa yang terjadi dengan diriku setelah kau tingga...

Putuskan.

Apa kau sedang jatuh cinta? Setiap hari. Apa begitu mudah? Tergantung. Tergantung bagaimana? Sudut pandangmu. Sekarang apa kau sedang jatuh cinta? Aku tidak tahu. Menyukai seseorang? Diam-diam. Sulitkah? Melelahkan. Tapi kau menikmatinya? Sangat. Begitu sudut pandangmu. Hah? Kau yang mempersulit dirimu sendiri. Kenapa tidak katakan? Dia menyukai orang lain. Apa yang membuatmu bertahan? Karena aku bodoh. Ya. Kau memang bodoh karena mempersulit dirimu sendiri. Lalu, aku harus bagaimana? Dunia ini luas, temukan seseorang. Bagaimana caranya melupakan? Aku menyerah. Maksudmu? Aku tidak tahu. Aku menyerah. Bagaimana bisa tidak tahu, kau itu diriku sendiri.

I Hate You

Aku hampir benci, kau pergi saja. Lambat laun, cinta yang kau abaikan ini melangkah ke arah yang salah meski akhirnya masih sama: kamu. Aku ingin menyayangimu diam-diam penuh aksara, berbunga-bunga, mengecap tawamu dari sudut yang tidak pernah kau rasa. Aku ingin katakan tapi tidak berani. Aku diam, tapi tidak tahu diri seolah jiwa ini bernyali. Setiap malam aku sibuk dengan sunyi, kau justru seenaknya datang dan pergi. Meninggalkan jejak di sudut paling kiri raga ini. Aku tidak ingin jadi pembenci. Kau bawa saja egomu yang paling tinggi, lalu kau nikahi. Aku tidak tahu ke depan rasa ini akan seperti apa. Aku ingin lupa, lalu bersamamu mengulang semua dari kata pertama: kita. Menangis lalu tertawa sudah berulang kali aku lakukan, tidak tahu lagi siapa di antara kita yang paling memaksa. Aku harus mundur sejauh-jauhnya, atau kau yang menghilang sampai tidak dikenali lagi oleh isi kepala. Pilih saja. Nanti dulu bicarakan tentang dia, kau pastikan benar-benar pergi hingga jerit hati...

Make A Wish!

Gambar
we heart it Aku tidak terbiasa mengucap selamat untuk siapapun yang mengulang tahun. Kalau diingat-ingat, bisa dihitung jari aku melakukannya—itupun kepada keluargaku. Beberapa hari lalu ada perayaan untukmu. Aku tidak bisa melakukan banyak hal, komunikasi kita terbatas bahkan aku dan kamu sudah jelas mau ke mana setelah ini, kita akan berada di arah yang berbeda. Kini, kau adalah teman yang diam-diam selalu ku pantau. Kau memberiku ruang untuk jatuh hati diam-diam, meski aku tidak berbakat. Aku aminkan segala doa yang kau panjatkan. Bertambah usia adalah di mana kau menabung   mimpi-mimpi baik dari orang-orang di sekelilingmu.  Ada banyak harapan dariku—kau di sana, mari kita aminkan bersama. Segala bentuk semoga yang aku ucapkan tidak akan pernah bisa melampaui senyum ibuk dan cemas bapakmu 25 tahun yang lalu. Di setiap tarikan nafas dan keringat orang tuamu ada keinginan terdalam yang mungkin mereka lupa katakan karena terhalang rengekan sepeda barumu—jadila...

:)

Untuk kau yang terpilih, Selamat sebab mencintai dan dicintai oleh seseorang lelaki yang begitu baik. Selamat juga untuk kamu yang akhirnya menemukan seseorang perempuan lebih baik dariku. Sebentar saja, biarkan aku bercerita kepada perempuanmu agar tidak ada kata lelah dan berhenti dalam perjalanannya mengenalmu. Lelakimu itu penyuka kopi. Sesekali temanilah ia sebab saat bersama dulu, aku justru memintanya berhenti. Dia suka tiba-tiba merasa lapar pada tengah malam, maka dengarkan keluhannya. Sesekali ia ingin dimanja minta disuapi, yang harus kamu lakukan berhentilah bersikap gengsi. Kadangkala ia merasa kesepian dan overthinking , tunggu saja, jika ia merasa siap maka dengarkan keluh-kesahnya sebab ia tidak semudah itu menceritakan perasaannya. Bersabarlah, ia masih memiliki anak kecil di dalam dirinya–egonya adalah salah satu cara agar seorang ibu dalam dirimu memperhatikannya. Ia cukup sibuk demi memprioritaskan dirimu. Ia tidak mengabaikanmu, maka berprasangka baik...

Sabtu Malam

Setelah setahun dengan susah payah mencoba, akhirnya kita sempatkan bertemu. Masih di kedai kopi yang sama, entahlah banyak kenangan bersamamu ada di tempat-tempat yang berbau kopi sebab begitulah salah satu cara kau berlari. Katamu, hidup adalah perihal bagaimana kau berlari dari satu tempat ke tempat yang lain tidak peduli seberat apa napasmu karena waktu tidak pernah mau tau. Kopi adalah pelarianmu dari merokok. Tanpa ku beritahu, kau paham aku tidak suka dg perokok, tapi aku tidak bisa membenci kamu dan ayahku sendiri. Sabtu malam yang tersisa beberapa jam lagi. Kau akhirnya datang. Kaos oblong abu-abu. Jaket parasut hijau lumut. Jins abu-abu kesayangan. Sepatu Converse abu-abu. Dan sebuah senyuman. Semoga apa yang kau pakai bukan karena aku yang pernah bilang kalau kau terlihat tampan dengan warna abu-abu. Atau mungkin itu semua adalah sindiran untuk kita yang (masih) abu-abu. Jakarta masih sama. Setelah hampir dua tahun ku tinggalkan. Kita mulai dengan basa-basi. Kabarku ...

Menulis Lagi

Halo kalian! Apa kabar? Apa kabar kamu? Lama tak jumpa. Hampir tiga bulan tidak menulis. Sebenarnya sudah lama rindu ingin menulis lagi, tapi entahlah rasa takut masih ada bahkan sempat berpikir untuk berhenti menulis saja. Ya, aku takut untuk menulis kalau masih kamu tokoh utamanya. Mungkin terdengar egois, tapi patah hati karenamu adalah patah hati sepatah-patahnya sampai membuatku takut untuk menulis. Padahal tidak aku saja, kamu juga merasakan hal yang sama. Kita berdua patah hati pada keadaan yang tidak memungkinkan, bukan tanpa sebab, kita saja yang dari awal terlalu memaksakan. Hampir dua tahun kita berusaha (terlihat) baik-baik saja. Kita saling menyukai, bertukar rindu, melakukan apa saja untuk melunakkan jarak yang (katanya) ada bukan tanpa alasan. Kita terlena hingga lupa Tuhan dan segalanya. Kita selalu mengelak perihal restu orang tua, keyakinan, dan bahkan keinginan untuk bersama. Pertemanan kita penuh dengan basa-basi dan kepura-puraan, sampai akhirnya kita...

Kau Baik-Baik Saja

Kau kehilangan (lagi), waktu menjadi antagonis yang bisa kau salahkan. Kau percaya ia sedang tersesat dan akan kembali-kali ini-. Atau kau lupa, kau memang bukan tujuannya. Kau memilih menunggu. Tidak tahu malu. Sebenarnya kau hanya bmbang- bertahan atau melepaskan- sebab kerja hatimu telah terbiasa menangkap harapan hingga lupa dengan logikamu. Jika kau temukan dirimu menahan sesak, menangis pukul tiga pagi karena riuh kepalamu, harusnya kau sadar sudah saatnya kau pergi. Tubuhmu ingin kau mengerti bahwa ia tak akan kembali. Pertemuan itu tidak pernah menjadikanmu sebagai pulangnya, kepergian yang kau tangisi itu memang tidak bertujuan untuk kembali. Kau tidak harus selalu bahagia. Tidak semua dapat kau baca termasuk perpisahan. Abu-abu di matamu biarkanlah mengalir membawa sesal dan andai. Kau biarkan kalimat menggantung di mulutmu, sebab matamu menyaksikan airmata yang jatuh lebih dulu. Tidak ada yang harus pergi lebih awal. Kau sedang tidak balapan siapa yang paling cepat me...