Menulis Lagi
Halo kalian!
Apa kabar? Apa kabar
kamu? Lama tak jumpa.
Hampir tiga bulan
tidak menulis. Sebenarnya sudah lama rindu ingin menulis lagi, tapi entahlah
rasa takut masih ada bahkan sempat berpikir untuk berhenti menulis saja. Ya,
aku takut untuk menulis kalau masih kamu tokoh utamanya. Mungkin terdengar
egois, tapi patah hati karenamu adalah patah hati sepatah-patahnya sampai
membuatku takut untuk menulis. Padahal tidak aku saja, kamu juga merasakan hal
yang sama. Kita berdua patah hati pada keadaan yang tidak memungkinkan, bukan
tanpa sebab, kita saja yang dari awal terlalu memaksakan.
Hampir dua tahun
kita berusaha (terlihat) baik-baik saja. Kita saling menyukai, bertukar rindu,
melakukan apa saja untuk melunakkan jarak yang (katanya) ada bukan tanpa alasan.
Kita terlena hingga lupa Tuhan dan segalanya. Kita selalu mengelak perihal
restu orang tua, keyakinan, dan bahkan keinginan untuk bersama. Pertemanan kita
penuh dengan basa-basi dan kepura-puraan, sampai akhirnya kita meledak, tidak
kuat lagi menahan apa yang membuat kita terlihat seperti manusia. Perasaan.
Aku tahu, kamu
adalah laki-laki baik. Maaf selama ini sudah memaksamu terlalu sering. Kau membuatku
belajar untuk menghapus airmataku sendiri, berani mengambil resiko dan
keputusan, menjadi wanita yang tidak gampang menyerah sebab kau ingin melihatku
meraih mimpi-mimpi yang sering ku ceritakan. Di sana, kau akan terbiasa dengan
lelahmu sendiri. Tidak ada lagi pelukan hangat yang sering kau minta pada pukul
lima sore hingga satu malam, atau telinga yang setia mendengarkan semua keluh
kesahmu di ibukota. Kita akan menaklukan ketakutan masing-masing tanpa perlu
berceloteh kau di mana? Sedang apa? Dan berbuat apa?
Kita harus
menemukan orang baru. Setidaknya menikahlah! Agar aku bisa cepat melupakan, dan
memang kau punya keinginan untuk menikah muda bukan? Mas, jika kau menemukan
bahagia lebih dulu, mohon bersabarlah untukku menyembuhkan luka lebih lama. Aku
tidak bisa mundur secepat itu sebab kau tahu, mengetahui segalanya dan menjadi
asing bukanlah perkara mudah. Ada rindu yang harus kau patahkan, ada perasaan
yang harus kau kalahkan, ada banyak kebiasaan yang harus dihilangkan.
Kemarin sebelum
kau tutup perpisahan ini, kau ucapkan kalimat yang membuatku merasakan dua hal
yang bersamaan, hangat di pipi dan di hati. Ucapan yang terlalu tiba-tiba dan
jujur saja, aku tidak siap. Aku tahu, kamu sudah lelah dan menyerah dengan keadaan.
Kalimat itu tidak cukup menenangkan, tapi yang paling aku tahu, kita tidak
pernah benar-benar pergi.
“Setiap orang tua punya keinginan dan karakter
masing-masing. Semua tergantung restu orang tua. Dan Tuhan penentu segalanya.”
Komentar
Posting Komentar