Sabtu Malam
Setelah setahun dengan susah payah mencoba, akhirnya kita
sempatkan bertemu. Masih di kedai kopi yang sama, entahlah banyak kenangan
bersamamu ada di tempat-tempat yang berbau kopi sebab begitulah salah satu cara
kau berlari. Katamu, hidup adalah perihal bagaimana kau berlari dari satu
tempat ke tempat yang lain tidak peduli seberat apa napasmu karena waktu tidak
pernah mau tau. Kopi adalah pelarianmu dari merokok. Tanpa ku beritahu, kau
paham aku tidak suka dg perokok, tapi aku tidak bisa membenci kamu dan ayahku
sendiri.
Sabtu malam yang tersisa beberapa jam lagi. Kau akhirnya datang. Kaos oblong abu-abu. Jaket parasut hijau lumut. Jins abu-abu kesayangan. Sepatu Converse abu-abu. Dan sebuah senyuman. Semoga apa yang kau pakai bukan karena aku yang pernah bilang kalau kau terlihat tampan dengan warna abu-abu. Atau mungkin itu semua adalah sindiran untuk kita yang (masih) abu-abu.
Jakarta masih sama. Setelah hampir dua tahun ku tinggalkan. Kita mulai dengan basa-basi. Kabarku kabarmu. Deadline. Teman sekantor yang menikah dengan selingkuhannya. Gaji yang selalu habis sebelum tanggal tujuh. Kuliahku. Tubuh kita yang semakin gemuk. Tertawa. Genggaman tangan. Elusan di kepala. Tentang orang tua kita. Atasan yang cerewet. Dan rencana selanjutnya setelah pertemuan ini.
Pukul 11 malam. Mencari tempat makan. Aku duduk di sampingmu. Genggaman tanganmu sesekali lepas menggerakkan persneling, sesekali melihatku dan tersenyum, sesekali mencubit pipiku. Aku ingin larut dalam kita. Ditemani Payung Teduh yang seolah mengerti harusnya kita menjadi satu. Pukul dua kau mengantarku pulang. Aku lupa dengan sujudku. Jakarta selalu terburu-buru. Kau tidak ingin melepaskan pelukanmu. Rindu kita masih banyak. Kau harus cepat pulang, berada dalam pelukannya sebelum matahari terbit. Sedang aku selalu menunggu untuk bertemu kembali. Mencuri waktu, mencuri cumbu.
Komentar
Posting Komentar