15. 47


Membencimu? Mana mungkin. Baru memulainya saja aku sudah merindukanmu berkali-kali. Ternyata setahun berlalu, puisi itu masih kamu. Betapa bodohnya, seharusnya aku mampu membencimu, tapi justru mengkhawatirkanmu. Aku menangis, kesal dengan diri sendiri. Bagaimana rasanya jadi seseorang yang selalu dikagumi? Mungkin biasa saja bagimu yang tidak tahu. Bebas saja tangan siapa yang ingin kau genggam, kepada siapa kau ingin jatuhkan pilihan. Lalu bagaimana denganku? Ingin pergi tapi tak bisa ke mana-mana.
Katanya omong kosong jika rindu tapi tidak bertemu, kenyataannya banyak rindu tidak tersampaikan kepada yang tidak terikat.

Tanpamu, aku takut dengan segala yang ada di sekitarku. Apa hanya aku yang mengerti cinta di saat kau pergi? Kau bisa tertawa, melihat ke arah lain, menggenggam siapa saja yang kau pilih. Aku melalui hari-hari seperti orang gila. Selalu menangis ketika ingin tidur dan kembali menangis saat terbangun di pagi hari mengingatmu. Lupa rasanya air putih, apapun yang kutelan rasanya pahit. Aku tidak menyisir rambutku, benci dengan pantulan diriku sendiri di cermin. Aku benci dengan isi kamarku, membanting apapun yang ada di depanku. Butuh satu tahun untuk membuatku bangkit menjalani hari-hari seperti biasa. Mungkin yang kau lihat aku tetap seseorang yang ceria, melalui hari-hari menyenangkan dengan sudut pandang yang sederhana. Kau tahu, aku sekarat di dalam sini. Apa yang membuatku kembali terlihat normal? Meski kau menolak, aku berpura-pura tidak tahu dan tetap menunggu. Aku menyerah untuk melupakan, apalagi membencimu. Hal itu justru membuatku semakin merindukanmu. Biarlah aku hidup seperti ini, aku tidak akan melepasmu. 
Aku tidak pernah sembuh—hanya terbiasa—tubuhku menerima rasa sakit itu.


Pada akhirnya aku kuat karena Tuhan bersama di dalam diriku. Aku selalu bilang bahwa semuanya akan baik baik saja, tapi kenyataannya hari-hari kulalui selalu berakhir memikirkanmu. Kadang dalam masa penyembuhanku, aku berharap kau  mengganti nomormu, menghilang, dan aku tidak tahu. Berharap kita tidak bertemu lagi. Ternyata, membuatmu kembali asing tidak semudah itu. Raga kita tidak bersama tapi ini bukan perpisahan jika selalu aku yang merindukanmu. Sampai kapan aku harus hidup seperti ini sebab jiwaku masih berada di sana. Ada banyak sesak yang kutahan saat menyadari diriku ingin melihat ke belakang. Butuh berapa banyak airmata agar aku berhenti melihatmu di dalam tubuh orang lain.



Komentar