Karena ketidakpedulianku, aku ingin tahu dari sudut pandangnya. Sedalam apa rasa kesepian yang tidak pernah ia tunjukkan, bahkan mungkin di depan "teman seumur hidup"nya. Dari sebuah kursi yang menjadi tempat ia bersantai sehari-hari, kursi kayu usang yang sering berderit setiap kali ia duduk. Bantalan kursi yang sudah tipis menandakan betapa banyak waktu berlalu  ia habiskan untuk menekuni setiap tingkah laku yang kami lakukan. Namun begitu, kursi tersebut sudah seperti teman yang selalu memberi kenyamanan. 

Malam, di mana ia seringkali tersesat dalam kewajibannya yang tidak pernah usai. Ia tutupi dengan senyuman, atau sekadar kelakar dengan cerita berulang-ulang. Tahu kenapa ia sering membuat lelucon yang sama? Karena ia ingin selalu melihat tawa kami pada lelucon pertama. Di balik kacamatanya, ada wajah yang lelah seharian menemui terik untuk mencari ini-itu yang kami inginkan. Bahunya yang mulai turun, membuatku ingin memahami seberat apa beban yang tak pernah ia ceritakan. 


Sajadah merah, sebagai hadiah ulang tahun yang kini memudar dan sudah sobek di tiap sudutnya, masih ia gunakan sebagai tempat menumpahkan airmata. Di tengah-tengah cerita yang ia bungkus dalam doa, hanya Tuhan temannya bercerita. Sebenarnya, seringkali tanpa disadari, ia sosok yang paling kesepian di dalam keluarga. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana perasaannya, apa yang ada di pikirannya, atau sedang ada yang mengganggunya? Karena ketika marah, ia tidak pernah benar-benar menunjukkan rasa kecewanya, atau ketika sedih ia tidak bisa menunjukkan airmata di depan keluarganya. 


Ayah

Komentar