Bukan Buat Ipin
Bulan Oktober adalah bulannya. Semoga tulisan ini tidak
terlambat karena aku tidak tahu tanggal pastinya. Sebenarnya tidak hanya bulan
Oktober saja, ada bulan dan tanggal lainnya yang mengantre untuk diisi kenangan
setiap tahunnya. Tiga tahun belakangan keberadaanku di antara mereka mulai bisa
dihitung jari dan hari demi hari kehadiranku tidak lagi sesempurna angka
sepuluh. Aku menyadari mungkin ini egois, perlahan-lahan tanpa kusadari
celoteh mereka mulai jauh terdengar ditutupi rutinitas yang justru membuatku
diam di tempat. Satu hal yang kutakutkan adalah suatu hari aku tidak lagi bisa
menebak pola dan tingkah laku mereka sama seperti aku lupa dengan hari ulang
tahun mereka. Sebenarnya, untuk hal ini aku menolak untuk ingat, untuk
berbasa-basi dengan ucapan selamat.
Aku tahu, di antara kalian aku yang
paling keras kepala untuk tidak memberi dari yang paling sederhana. Selama
bersama, sedikit sekali hal-hal sepele yang kulakukan—sesederhana bertanya apa
kabar, bilang i miss you, atau memberi pelukan—yang mungkin saja bisa membantu
mereka sebentar untuk lupa betapa berat hari yang dilalui saat itu. Entahlah,
kenapa sulit sekali melakukan itu semua sesulit menyimpan nomor handphone mereka
;) Aku masih mengenal mereka dengan baik dan ingin lebih baik lagi sampai aku
bisa menjawab semua pertanyaan yang ada dalam pikiran mereka.
Aku yang kegeeran
atau kalian juga merasakan hal yang sama, ada kalanya kehadiranku diharapkan
untuk mengisi bagian dalam diri kalian yang sudah lama kosong perihal bagaimana
rasanya diterima menjadi diri sendiri saat bersama seseorang yang kau
anggap tidak waras. Ada kalanya aku ingin mendengar tawa spontan yang biasa
menemani tidak peduli di manapun sampai orang-orang di sekitar melihat. Aku
juga manusia biasa, masih bisa merasa rindu dengan seseorang bertubuh kecil
yang makannya banyak, dengan seorang yang menyebalkan dan bahkan aku tidak tahu
ke mana arah hidupnya, dengan seseorang yang selalu membuatku lelah dengan
kecerobohannya, dengan seseorang yang punya ketakutan yang sama denganku, atau
seseorang yang betapa kukenal cara tidurnya, satu di antaranya yang
bercita-cita menjadi artis tapi lebih anggun dari idolanya setelah ia menjadi
seorang ibu, dan merindukan seseorang yang pada akhirnya mampu mengisi tempat
paling misterius; hati pasangannya. Ah ya! Maaf (lagi-lagi) tidak bisa
membersamai hari bahagiamu.
Mungkin aku akan tetap di sini, menjadi
seseorang yang tidak pernah pergi sama seperti kalian yang tidak pernah lari.
Begitulah cara kita berterima kasih untuk satu sama lain. Pernah terpikir,
mengapa aku masih dilibatkan? Apa aku sepenting itu? Bahkan aku tidak bisa
hadir di hari-hari penting mereka. Aku tidak bisa terus-terusan menilai hanya
dari permukaannya saja. Jawaban atas pertanyaanku sendiri adalah kami ini
orang-orang pengecut. Itu mengapa aku masih bersama mereka. Tidak ada satupun
dari kita yang berani meninggalkan. Tidak ada satupun dari kita yang ingin
mengubah apa dan siapa. Hanya saja... harus tetap ada dan bersama. Kurang lebih
seperti itu yang tersirat di balik lisan kita yang lugas, di balik candaan kita
yang tidak peduli dengan perasaan masing-masing.
Kukira, jauh hari setelah
toga berada di tumpukan paling bawah lemari, aplikasi obrolan grup yang dibuat
setengah hati akan ditinggalkan sepenuh hati setelah masing-masing dari kita
akhirnya kalah dengan dunia. Ternyata, aku masih bisa menemukan pulang dari
layar segi empat. Aku tahu aku gila, inilah mengapa ada satu hal manis yang
selalu kusyukuri bisa mengenal mereka. Bagaimana mereka bisa mengimbangiku
dengan ikut bertingkah konyol meski mereka tidak ingin melakukannya.
Mereka itu wanita kuat yang dengan sabar menerima gadis kecil sepertiku. Ini
kali kedua aku menulis tentang kita, kuakhiri begini saja. Tidak ada lagi yang
bisa kutulis. Kalau kulanjutkan intinya akan sama saja. Kita lebih besar dari
kata.
Tidak perlu banyak, yang terpenting bagaimana tetap hangat.
Tidak perlu penuh materi, yang terpenting tidak pernah pergi.
Komentar
Posting Komentar