Selamat Ulang Tahun.

Hasil gambar untuk we heart it train station
weheartit

01 Februari 2017, dua tahun yang lalu.

Sore itu di Stasiun Pasar Senen tepat sehari sebelum ulang tahunku. Kau ingin pulang ke Jogja, merindukan pangkuan ibumu di kampung halaman. Kau tidak berkata apa-apa selain memunggungiku. Aku kira bandara, stasiun, dan terminal adalah tempat paling klasik untuk sebuah perpisahan, sampai aku mengalaminya. Kau inginkan aku mengantarmu, rindu katamu.

“Dek, di mana?”

“Lagi dengan temen. Pulang jam berapa, Mas?”

“Jam tujuh. Kamu ke sini ndak antar aku?”

Kan udah gede bisa pulang sendiri hehe…”

“Sempatkan ke sini, nanti aku rindu.”

“Siap. Aku juga enggak jauh kok dari stasiun.”

Dan seperti perempuan pada umumnya yang selalu luluh dengan kata-kata manis para lelaki, aku mendapatimu tersenyum senang saat melihatku di depanmu.

“Sudah mau berangkat?”

“Belum, masih lama. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi. Kamu sudah makan?”

“Sudah tadi dengan temen. Terus sekarang mau ngapain?”

“Begini saja. Aku ingin menikmati momen ini, melihat kamu duduk di sampingku.”

“Ajak aku ngobrol dong”

“Jangan sering pulang malam, jangan cape-cape, jaga kesehatan. Begadangnya dikurangi, 
kamu ka...”

“Mas sudah makan?”

“Sudah.”

Pake apa?”

“Beli Popmie tadi.”

Enggak makan nasi? Emang enggak punya maag?”

“Aku enggak punya maag, yang punya itu kamu. Makan yang teratur, dek.”

Aku tersenyum melihat wajah cemberut di depanku. Mungkin kau mulai kesal dengan pola makanku.

“Jangan senyum-senyum doang, masa mau nunggu aku yang suapi baru mau makan”

Aku tidak kuat lagi menahan tawa. Kau terlalu menggemaskan untuk masalah sepele seperti ini.

“Tuh ‘kan aku lagi ngomong malah ketawa”

“Iya Mas iya. Nanti pulang dari sini aku makan lagi deh. Kapan ke Jakarta lagi?”

“Mas belum tau dek”

“Lah kok belum tau? Emang lagi ada kerjaan di sana?”

Kau hanya mengangguk. Raut wajahmu memberiku keraguan. Aku tidak melanjutkan dan memilih diam. Untuk beberapa saat kita sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku memecah kesunyian, paling tidak suka dengan suasana seperti ini.

“Belum mau masuk? Orang-orang sepertinya sudah masuk”

“Aku masih mau di sini sama kamu, masih banyak yang belum masuk kok

Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya,

“Mas mau ninggalin aku ‘kan? Aku sudah siap.”

“Mas engga tahu harus gimana. Keadaan kita sulit, kamu paham ‘kan maksud mas?”

“Iya aku tahu kok.”

“Tapi aku enggak pengen kita jauh.”

“Masuk gih, biar bisa istirahat di dalam kereta”

“Kamu udah siap banget ya engga mau ketemu aku lagi…”

Kau masih berbicara, samar-samar ku dengar suaramu tapi aku tidak tahu apa yang kau katakan selanjutnya. Aku sudah lebih dulu berjalan di depanmu. Kau mengulurkan tangan sebelum benar-benar menghilang.

“Jaga diri baik-baik ya, jangan cengeng harus bahagia selalu. Sukses kuliahnya, cepat wisuda. Doa mas selalu menyertaimu.”

“Besok aku ulang tahun lho.”

Kau tampak kaget. Kau memang belum tahu hari ulang tahunku.

“Kenapa engga bilang?”

“Emang harus bilang? Sekarang sudah tau juga ‘kan”

“Kamu nih”

“Kalau aku bilang memangnya mau ngapain? Bakal ada yang berubah? Engga ‘kan.”

“Terus sekarang bagaimana?”

“Peluk aku dong.”

Kau langsung memelukku erat. Aku menikmati debar jantungmu yang begitu cepat dan tak beraturan. Aku menghirup aroma tubuhmu sebanyak yang aku bisa. Kau melepaskan pelukanmu, dan menatapku dalam-dalam,

“Mas minta maaf, kamu harus lebih bahagia dari Mas.”

Aku hanya tersenyum. Lalu, kau berjalan ke arah yang berlawanan, sesekali melambaikan tangan ke arahku. Aku tidak bisa lebih lama lagi melihatmu memunggungiku. Aku menangis, kau semakin menghilang di antara banyak orang. Dalam perjalanan pulang, aku bertanya-tanya “Apa aku bisa lebih bahagia tanpamu?”

Dan begitulah kita mengakhiri hubungan ini, saat Jakarta semakin gelap.

Komentar