Setahun Berlalu



Aku masih mencarimu di tempat biasa kita menghabiskan waktu dengan kopi kesukaanmu. Kau seringkali mengeluh dengan menambahkan dua sendok gula ke dalam cangkirmu. Masih kutemukan diriku tanpa sadar tersenyum mengingatmu di halte biasa kau mengantarku. Aku masih menuliskan namamu di pencarian media sosialku, memastikan kabarmu baik baik saja. Sebelum tidur, aku membaca pesan pesan singkat darimu, membuatku kembali menghitung sudah sejauh apa jarak kita sekarang. Aku tidak bisa mengendalikan pikiranku saat memanggil teman dengan namamu. Aku menonton iklan sepak bola lebih lama, membayangkan betapa bahagianya kau melakukan hobimu. Aku menahan diriku untuk tidak menutup telinga saat hujan dan petir karena ingin terlihat berani di matamu. Lagi lagi aku tersenyum tanpa sadar saat melihat brokoli dan wortel di dalam mangkuk sup, bagaimana dulu kau begitu gemas melihatku menyisihkan sayuran di nasi goreng kesukaanku. Aku tidak lagi memesan kentang goreng ukuran besar. Aku mulai mencoba lari pagi sambil memikirkan dirimu, entah sudah berapa kali kau memaksaku untuk rutin berolahraga.

Aku makin tidak teratur. Pola tidur dan pola makan. Aku tidak lagi mengatur buku bukuku di meja, atau menulis catatan catatan kecil karena aku pelupa. Kau paling tidak suka melihat mejaku berantakan. Kau alarm yang membangunkan 30 oh ya! Satu jam lebih cepat. Kau memilih hidup ketat, dan ternyata menjadi sedikit fleksibel itu menyenangkan. Sesekali kau harus coba. Aku memutuskan untuk tidak membuat kebiasaan, entah dengan diriku sendiri atau siapapun. Kau tahu? Menghilangkan kebiasaan yang dulu sering kita lakukan bersama rasanya sangat menyakitkan. Kau bisa sebut itu trauma...atau menyedihkan? Apapun itu, aku masih rindu. Jika kau membaca ini, jangan menghubungiku. Aku bisa rindu lebih dari itu. Banyak perubahan yang terjadi dalam diriku, dan yang paling menyedihkan adalah aku berhenti menulis sejak kau meninggalkanku.

Komentar