Ryan
Sebut saja ia Ryan. Mungkin terdengar kebarat-baratan. ltu
adalah salah satu tokoh Drama Korea yang kutonton saat ini. Bukan kali pertama
kami bertemu dalam keadaan ia selalu membantu dengan kecerobohanku.
Entah sejak
kapan tas yang biasa kugunakan untuk ke kampus berlubang kecil di sudut kiri
menyebabkan bolpoin yang akan kugunakan untuk tanda tangan dosen hilang
sekejap. Aku berusaha mencari sambil berjalan di sekitaran parkir kampus gedung
A siang itu. Ia mencegatku sambil rnenyodorkan pulpen seolah tahu apa yang
kucari. Aku terkejut, memandangnya heran, bahkan aku tidak tahu namanya saat
itu.
Jangan
kelamaan mikir, dosen enggak akan seluang itu nunggu kamu mau ambil pulpen ini atau enggak.
Aku tidak peduli, makin keheranan. Kau memberi paksa pulpen
itu ke tanganku lalu pergi. Ya, memang dosen tidak punya banyak waktu luang,
tiga jam menunggu akhirnya ada kemajuan untuk penelitianku. Kau menunggu di
luar ruangan, lebih tepatnya, aku melihatmu kembali dengan dua gelas es kopi.
Mungkin aku kegeeran mengira kau menungguku tapi terserah yang jelas saat itu
tanpa sadar aku menghampirinya. Mari salahkan kakiku saja. Kau melihatku,
tersenyum, yang bahkan aku tidak tahu untuk apa. Saat yang bersamaan, kau
menyodorkan segelas kopi dan aku mengembalikan pulpenmu. Kau menarikku untuk
duduk,
Pertama,
di parkir perpustakaan, motormu hampir menabrak mobilku. Kedua, di ruang TU Fakultas
beberapa berkasmu ketinggalan. Ketiga kalinya kamu 'akhirnya' berhasil menabrakku,
menginjak kakiku, dan berlari masuk ke kelas, dan.... itu berarti hari ini
adalah yang keempat. Apa nanti akan ada yang kelima?
Butuh waktu untukku mengerti apa yang ia
bicarakan. Samar samar aku mulai
mengingat wajahnya. Sorry... hanya
kata itu yang keluar dari mulutku.
Really?
Thats it???
Aku cuma bisa nyengir, rasanya seperti dikepung guru BP :(
Okay
makasih pulpennya lanjutku sambil bersiap pergi
Emang
suka buru-buru ya? kalo gini caranya pasti bakal ada yang kelima.
Enggak
ada yang kelima, keenam, dan seterusnya.
Yakin?
Kita lihat aja nanti.
***
Aku tidak terlalu suka belanja, biasanya barang barang yang kupakai bisa bertahan hingga sepuluh tahun lebih. Bukan irit atau pelit, tapi aku tipe
orang yang kalau sudah nyaman dengan suatu barang bakalan susah untuk ganti
yang lain. Akhirnya setelah hampir dua minggu, aku mendapatkan yang 'kelirna'
atau lebih tepatnya dia yang mendapatkan.
Entahlah. Sekitar pukul tiga sore sehabis hujan deras, aku memasuki gedung fakultas
dengan berjingkat-jingkat mencari lantai yang tidak terlalu basah karena sepatu
yang kupakai sejak kelas tiga SMP sudah mulai licin alasnya. Ya. Aku memang
membahayakan diriku sendiri.
Bersyukurlah karena yang 'kelima' ini membuatku berpikir
mungkin sudah saatnya aku ganti sepatu yang biasa dipakai ke kampus. Aku bisa
saja jatuh terpeleset jika tidak secara tiba tiba ia menarik tanganku,
menahanku agar tidak jatuh ke lantai. Aku tidak tahu harus senang atau tidak
bertemu dengannya kembali. Dia menolongku tapi di sisi lain aku seperti menelan
ucapanku sendiri beberapa waktu lalu.
Enggak. Ada. Yang. Kelima. Keenam. Dan. Seterusnya.
Seriously??? Bahkan laki laki ini sudah berdiri di depanku sekarang, tersenyum
seolah tahu apa yang kupikirkan.
Kau menuntunku untuk duduk di kursi, dan aku
menurut saja. Rasanya sikapku tidak pernah setenang ini dengan orang asing.
Makasih
ya, aku ke kajur dulu. Lagi lagi kau menahanku
Duduk
dulu di sini.
Lalu kau melepas sepatumu, menggesernya ke arahku.
Nih,
pakai yang ini aja. Aku tunggu di sini
Hah?
Udah
jangan kelamaan mikir, buruan pake.
Anehnya aku menurut saja. Apa begini cara kerja pencucian
otak? Sepatu lari berukuran 42 cukup membuatku kewalahan saat berjalan, untung
saja ruangan yang kutuju tidak jauh dari tempat kami berada saat itu. Lima
belas menit kemudian, aku sudah berada di depan laki-laki ini lagi, melihatnya
menyilangkan kedua tangan di dada, tersenyum ke arahku dengan penuh arti. Aku
memilih diam, bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Aku ingin pulang saja.
Nih
sepatunya makasih ya
Oke.
Hari ini enggak bawa motor kan? Aku antar kamu pulang.
Enggak
perlu. Makasih. Aku bisa pulang sendiri kok.
Tepat setelah selesai kalimatku, hujan turun lagi. Lebih. Deras. Oh please… i hate drama. Kau
yang sudah berdiri tiba-tiba duduk kembali.
Aku
tunggu sampe kamu berubah pikiran.
Kita bahkan tidak perlu repot-repot saling mengenalkan
diri. Baiklah, 2019 sudah berjalan sangat jauh. Aku bukan orang yang mahir
dengan pergeseran budaya. Hal seperti ini tentu saja membuatku keheranan. Kau
seperti bisa membaca pikiranku.
Don’t
worry i am not a bad boy
And
i am not a good girl
Kau tertawa mendengar ucapanku
Dan aku menikmati tawa itu. Wait what?!!
to be continued... (maybe?)
Komentar
Posting Komentar