Entah

Jadi, ceritanya kemarin saya berangkat ke sana untuk bertemu kamu. Sesampainya di sana, saya melihat kamu sedang asyik pacaran. Saya hanya melihat sekilas sambil tersenyum. Kemudian saya pergi makan siang bersama teman-teman. Setelahnya, saya kembali ke tempat dimana kamu sedang bersama wanitamu. Saat itu, kamu sedang tertawa. Saya tidak tahu apa yang sedang kalian bicarakan, yang jelas lagi-lagi saya hanya bisa melihat sekilas sambil tersenyum.

Kemudian saya menonton bersama teman, mencoba untuk mengalihkan pikiran saya tentang kamu. Saya hanya punya 5-10 kata dan memakan waktu sekitar 5-10 menit bersamamu. Pun tidak dilakukan secara rutin. Saya tidak pernah punya keberanian lebih untuk mendekatimu. Sekitar 15 menit kemudian, saya meregangkan leher dan terkejut kamu ada di belakang saya. Saya tidak tahu sudah berapa lama kamu ada di sana. Kamu tersenyum sambil melambaikan tangan. "Hai", katamu. Dalam hati, saya ingin melompat memelukmu. Tetapi saya hanya bisa tersenyum tanpa mengatakan sepatah katapun. Payah.

Kamu menarik kursi ke depan sejajar dengan saya. Wajahmu serius ke layar kaca menonton film horor yang sedang saya putar. Lima menit pertama, kita tak saling bicara. Saya sibuk dengan pikiran sendiri, dan kamu sesekali bergumam tentang film. Saya tidak tahu apa kamu juga sedang memikirkan sesuatu, atau kita memiliki pikiran yang sama. Lalu ponselmu jatuh karena ulahmu sendiri. Saya membantu mengambilnya, terlihat wallpaper kalian berdua di kebun binatang. Bukan tentang fotonya, tetapi kalimat yang kamu ucapkan tepat setelah ponsel berada di tanganmu. "Tunggulah sebulan lagi", lalu kamu pergi.

Saya tidak pernah menghitung kapan sebulan itu akan datang, yang saya tahu di suatu siang yang mendung, saya mendengar kabar duka. Dia, wanitamu meninggal dunia karena kanker tulang. Perjuangan selama 3 tahun membuktikan bahwa dia adalah wanita yang kuat. Tanpa setetes airmata, kamu membantu proses pemakaman dengan khidmat. Meski jujur, saya tidak tahu apa arti di balik ekspresi wajahmu itu. atau memang saya terlalu berharap ada makna di balik ekspresi wajah yang sama ketika menonton film horor sebulan yang lalu.

Dua minggu berlalu, dan kamu masih belum menampakkan diri. Kabar yang saya dengar dari beberapa teman dekatmu, kamu sedang ingin sendiri, menjernihkan pikiran. Dua hari kemudian, kamu kembali di sana. Bercanda dengan teman-teman, dan tawa itu... tawa itu kembali.

Saya meninggalkan ruangan untuk mengambil beberapa dokumen yang tertinggal di ruang lain, mungkin satu atau dua lembar. Matahari belum juga tinggi, langkah saya melambat karena terlalu mewah untuk wages berbahan kulit ini. Jari kaki saya kesakitan dalam kondisi terburu-buru. Ruang-ruang sejajar di kiri dan kanan dengan ekspresi yang berbeda. Ruang gelap, ruang terang dengan pintu terkunci, pintu terbuka dengan kursi-kursi berantakan, beberapa botol dan sisa-sisa bungkus makanan, orang-orang yang sedang melakukan pekerjaan saling melempar kertas, atau ruang di mana sekitar 30 orang menekuni selembar kertas yang saya tidak tahu apa isinya.

Hampir di ujung cerita, saya mulai memperjelas setting cerita yang sebenarnya ingin saya rahasiakan. Di ujung koridor, saya seharusnya belok ke kiri dan menaiki tangga ke lantai 3. tetapi itu tidak terjadi. Kamu  menarik saya ke dalam pelukan. Percayalah, saya benar-benar terkejut saat itu. saya bisa merasakan detak jantungmu yang saya kira tidak jauh berbeda dengan saya meski dengan makna yang berbeda. "Saya berjuang keras menyelesaikan kewajiban saya, sekarang biarkan saya memiliki apa yang seharusnya menjadi hak saya." begitu katamu. "Maaf membuatmu menunggu lama." kamu semakin erat mendekap pinggang saya.

Terimakasih. Hanya itu yang bisa saya katakan. Saya benar-benar payah. Kemejamu basah karena airmata, dan saya masih sibuk mengucapkan terimakasih dengan tidak jelas. Seorang wanita menepuk pundak saya, "kalian tidak boleh lebih menderita lagi dari ini. Kalian sudah berjuang keras." sambil tersenyum dia pergi ke dalam ruangan yang menekuni kertas.

Tidak sampai 5 menit, wanita itu keluar lagi dan berkata, "kalian jangan sampai putus. Kalau kalian putus, saya bisa gila." lalu pergi. Justru saya lebih gila karena tidak mengenal siapa dia. Lama kami berpelukan, dan wanita itu datang kembali, "saya sedang bosan menatap kertas hari ini." katanya sambil masuk ke ruangan yang ia tinggalkan tadi.


Di sisi lain, teman-teman kami mengintip dari balik pintu, bahkan satu di antaranya duduk bersila seperti sedang menonton acara di televisi. Kamu tertidur di atas kepala saya, saya bisa mendengar dengkuranmu. Dan saya kebingungan untuk menyudahi cerita ini. Saya juga tidak ingin.


Komentar