Rindu Ini Milik Kita



Sebab aku masih sering menaruh ngilu pada rindu yang kau sendiri tidak tahu. Sebab kau pula tak peduli bagaimana deras hujan sore tadi, ada banyak rindu yang seharusnya menyentuh gerak-gerik kecil tanganmu. Sebab itu pula aku masih menjadi anak kecil yang senang digandeng tangannya, yang berdecak kagum pada ketinggian; burung dan pesawat terbang. Sebab aku ingin melihatmu gusar dimana kakimu berpijak, menjadi sentakan untuk kantukmu. Sebab jauh sebelum hari ini atau mungkin setelahnya, aku ingin kita sama-sama perih pada perpisahan yang kupecahkan, pada rindu yang kurahasiakan.


Suatu waktu pernah kau utarakan, hanya denganku kau gugup bukan kepalang. Setelahnya semua tentangmu begitu singkat. Sudah dingin jejak bibirmu di keningku. Aku tak lagi tahu dimana kursi yang pernah kau duduki kala sore itu, dengan baju merah dan celoteh mesra. Hanya secarik senyum dan genggaman dingin jemari kita, kemudian lekas kikis oleh musim, yang mengantarkan kita pada perpisahan pagi itu. kita sama-sama ingin tahu, mengekori setiap langkah di pelupuk mata masing-masing. Namun sayangnya kita seperti manusia bodoh yang tersedak dengan ego sendiri pada langkah-langkah lunglai yang menjauh, membawaku pulang-mengakhiri kita.

Katamu akan menunggu di stasiun untuk mempertegas kepergian, sampai aku tenggelam dalam airmata dan gigil ketakutan, kau tak lebih dari sebuah lalu pada debar-debar kerikil yang terinjak kereta. Singkatnya, kau tak datang hari itu. Siapa yang sedang menarik ulur? Kau atau aku? Pada akhirnya kau tetaplah pertanyaan yang tidak terselesaikan. Ketika banyak pesta di kepalamu belum mampu kurengkuh, ketika banyak angan kita tentang mana yang pas untuk dirimu dan diriku belum menyentuh kata setuju, dan ketika rindu ini masih menjadi milikku tanpa kau tahu sebab senyumku menyukai matamu.

Aku ingin melesap menujumu, tanpa sayap, tanpa perjalanan. Melihat matamu menyeru pada senyap setumpuk lelah, kemudian kau jadikan bahuku tempat paling romantis di antara aktivitasmu. Barangkali kita adalah sebuah peruntungan yang belum selesai kutulis ulang di tiang-tiang desa, saat kau mulai menyadari ada yang tidak berhasil dari kita. Sungguh, aku tidak menyesal sebab akulah yang menjemputmu.

Maka dari itu mungkin akulah yang kebingungan saat raga kita tak mampu berkata-kata pun secuil suara mati terinjak di antara bisik-bisik teman-temanmu kala itu. hanya sepasang mata kita yang berkelahi begitu hebat tanpa tahu gerimis di pipiku mengundang pelukanmu, kau menepuk pundakku beberapa kali, entah apa maksudnya.

Sebenarnya ada apa? Kenapa kita memilih diam saat langkahku mulai hilang ke barat. Kau lemas, menelungkupkan wajah pada kedua lututmu. Kenapa kau tak bilang apa-apa saat punggungmu mulai kelelahan menahan rindu yang setiap malam kau titipkan di kampung lain. Padahal aromanya sudah terkuak, dan aku mengerti, hanya saja sama sepertimu tak bisa melompati ruang kata-kata yang kita batasi sendiri. Itu rindumu, aku tidak berhak ikut campur. Bisa saja menjadi milikku jika kau bukan seorang peragu.

Ku kira perihal pagi hari adalah waktu yang tepat untuk jatuh cinta bisa kubuktikan padamu. Namun kau punya pengertian lain, sebaiknya cepat-cepat malam agar kau bisa menyimpan airmata di balik selimut dan menyembunyikan tubuhmu yang ringkih di antara mereka yang berhasil meringkas jarak. Apa sebaiknya aku yang bilang lebih dulu kalau aku rindu kamu?--

Komentar