Perayaan Setahun

Meringkuk memeluk cemas di malam kesebelas Desember. Hujan dan lembab tak ubahnya jutaan airmata yang melepas kesedihan. Senyummu sejajar dengan lipatan tangan sebesar lonceng-lonceng merah yang tergantung di hari minggu. Bulan penuh kasih sayang katamu. Padahal yang ku tahu, setiap hari seharusnya begitu. Rintik-rintik hujan memeluk hari kedua, seperti pengingat bahwa di minggu terakhir Februari kau akan bertambah usia. Meraup puji dan cerca untuk langkah-langkahmu menjadi dewasa. Sebenarnya, tidak perlu menunggu sampai bulan kedua karena kau hanya perlu memejamkan mata untuk membual perihal resolusi pada tanggal satu.

Aku melangkah mundur perlahan, meski mataku tak jua jengah melepas syukur seiring cahaya warna-warni dilepaskan. Aku takut kembang api, namun kau disitu. Tahun baru lagi-lagi menjadi saksi ketika kita menanggalkan satu per satu mimpi yang tak jadi. Januari kita tinggalkan dengan berlari-lari. Bulan ketiga, keempat, dan kelima adalah hari-hari terbanyak kita menjemput jarak.

Lamat-lamat kutelusuri jalan, melihat sepasang kakek-nenek duduk di tepi sambil melempar kerikil di kolam kemungkinan. Aku tersenyum. Seharusnya mereka adalah kita. Membayangkan saling merengkuh, mendekap hangat. Kita telah dikuasai angka. Setiap pagi lembut cahaya mentari mengecupku dengan aroma tubuhmu. Kaukah disana? Bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu.

Aku tidak lagi sendirian karena Juni menemaniku dengan hujan. Rintik-rintiknya membantuku melepaskan semuanya. Ya semuanya. Jeritan-jeritan yang kusembunyikan di balik senyuman pada bulan-bulan sebelumnya. Cukup bagiku untuk memaksa kuat, menyadari bahwa kau tidak lagi di sampingku. Penyair selalu benar. Hujan di bulan Juni akan menyenangkan, juga menyedihkan.
Kau mungkin menyadari ketika membaca tulisan ini, ada banyak hari yang kulewatkan dengan kedinginan. Kini ucapan "suatu hari nanti aku yang akan menjadi payungmu" hanya membuatku semakin basah kuyup dalam tangisan.

Juli adalah Ramadhan dan perayaan lebaran. Ada banyak tawa yang kudapatkan, selain melihat wajahmu yang lucu sedang melamun tak mengerti atau mungkin merasa bosan. Aku kira kita mampu bertahan. Namun kau memlih Agustus sebagai bulan kemerdekaan. Ya, hanya kau yang berpikir demikian. Kita dikalahkan oleh perpisahan. Dengan langkah terburu-buru, kau pergi. Tanpa menoleh ke belakang, seolah punggungmu berkata, "ini yang seharusnya kita lakukan dari dulu."

Sudah tentu tidak ada September ceria. Aku berjalan beriringan di antara penyesalan dan logika. Mimpi-mimpiku lebih menerimaku apa adanya. Oktober sudah membelengguku dengan rutinitas. Kita tidak lagi saling mengenal. November datang kembali. Bersama hujan, kenangan bersamamu satu per satu luruh di ujung sepatuku. Aku mulai bisa membaca airmataku sendiri.


Desember kali ini adalah perayaan satu tahun kita menjadi bukan siapa-siapa.

Komentar