Oi, J!




Para perempuan ini yang membuat saya lebih kuat dari seorang laki-laki. Bukan perihal mereka ada di urutan keberapa setelah Sang Pencipta, ayah, mama, adik, dan kakak. Tetapi mereka adalah rumah ketika pulang masih terlalu dini dan rindu telah berusia. Para perempuan pagi yang masih bersinar di ujung senja, meski wajah bergulat dengan debu, meski tangan menghitam karena banyak mencumbu buku. Kita lahir dari lapar dan tawa di saat yang bersamaan. Ketika tangan saling silang di atas nasi sebesar dadu. Duduk bersama menenggak terik hingga mata memecah sungainya dan menuntut sebuah bahu.

Saya mencintai pandangan mereka tentang poros waktu yang mulai aus dirayapi oleh para kepala batu. Saya mencumbui jiwa mereka karena pandai berkelakar dengan sumbu X dan Y yang ada di halaman ke-21. apa yang mereka tertawakan tidak perlu dicari tahu, tidak tercantum di buku manapun karena mereka adalah murid dan guru dalam satu tubuh. Bersama mereka seperti melipat buku, penanda yang akan saya buka kembali ketika rindu.

Mereka tergila-gila dengan perbedaan. Mereka ingin saling menjauh tapi mencandu  kebersamaan. Sebenarnya, perkataan mereka yang pedas adalah sebuah cara untuk mengubah dunia menjadi tempat yang ramah lingkungan. Tidak lagi segersang pikiran, selemah daun yang berguguran, sepanas bumi yang sekarang, sensitif seperti kulit bayi, tidak lagi sedrama televisi, dan semelankolis lagu butiran daki.

Jika memang perkataan mereka tidak bisa dihilangkan dengan minum sekali tandas, tenang saja, mereka akan menggantinya dengan manis dari senyum dan tawa mereka. Kelak jika langkah kita tak lagi searah, tenang saja, akan ada saat dimana kita bertemu entah dipersimpangan mana, menertawakan "kelak" yang sekarang masih diperhitungkan. Di kilometer berapakah kita akan bertemu kembali?

Komentar