Fighting!
Aku punya teman. Teman sepermainan. Dimana ada dia selalu ada aku.
Wahai teman
sepermainan,
Mungkin lidahku
terlalu kelu, takut menjadi benalu dipikiranmu yang mungkin sudah penuh dengan lika-liku hidupmu. Lagi-lagi segala
resah akan kerinduanku padamu menjadi pribadi yang gagah dalam melawan gelap
(sebuah ketakutan yang menjadi favoritmu), aku pahat menjadi barisan-barisan
kata lazim dan penuh basa-basi. Namun karena aku tahu kau bisa membaca, semoga
tulisan ini bisa memelukmu kala aku terlalu bodoh untuk tak sempat lagi menyumpahimu menjadi wanita yang selalu
berbincang kepada bumi dengan kaki dan pikiran yang jati.
Wahai teman
sepermainan,
How's life? Pelik bukan? Tak semuanya berjalan seperti apa
yang kita rencanakan. Namun aku tahu kau cukup mengerti perihal ini sehingga
tak perlu lagi ku ingatkan dimana kau harus beristirahat, dimana kau harus
mengisi nutrisi agar kembali bersemangat. Kita berada di usia yang tidak
terlalu jauh untuk menjadi teman. Dan kita sama-sama mengerti apa itu lelah
yang kita dapatkan dalam pendakian kita.
Wahai teman
sepermainan, bagaimana kabarmu?
Bukan sehari-dua
hari kita berteman. Ada banyak bulan yang kita habiskan bersama, dan aku
percaya kau mengenalku sebagai pribadi yang tidak terlalu mahir perihal
berbicara. Itu mengapa tulisan ini ada. Ketahuilah, aku tidak pernah bermaksud
menghakimi dirimu. Di sini, aku bercerita sebagai seorang teman.
Perlu kau ketahui,
perjalanan kita kadang kala akan menemui kerikil, tanjakan yang terjal,
tebing-tebing yang curam. Ada saat dimana angin kencang meniup pasir yang kau
pijak, hingga matamu perih dan susah untuk melihat. Tetapi, sekali lagi kau
punya telinga untuk mendengar alam. Bukankah kau sangat menyukai pendakian ini?
Sebagai teman, aku hanya bisa mendorongmu, mungkin sesekali dengan dorongan
yang keras. Ada banyak waktu yang kau habiskan untuk mengumpat, mengeluh,
sesekali tertawa sembari bersenandung menertawakan dirimu sendiri yang hingga
kini belum mencapai puncak. Apa kau sedang mengujiku? Kadangkala aku kesal
melihatmu begitu bodoh mengisi kepalamu dengan pikiran-pikiran negatif yang aku
pun tidak tahu akan menjadi kenyataan atau tidak. Apakah sudah menjadi
kebiasaanmu mengelabui diri sendiri? Di usia sepertimu, sangat disayangkan jika
kau bentuk dirimu dengan kekecewaan yang kau buat sendiri.
Kau cantik. Kau
tampil apa adanya dengan pikiran visionermu. Kau memiliki senyum pagi yang
menawan. Sesekali kepalamu tertunduk, hanya menatap jalan, menghela nafas,
sibuk dengan pikiranmu sendiri. Kadangkala kau bertingkah seperti anak kecil,
tidak bisa diam karena takut dengan pikiranmu sendiri. Menggemaskan, aku dibuat
senyum-senyum sendiri karena celotehanmu yang terkadang tidak masuk akal,
bahkan aku pun tidak berpikir sampai sejauh itu. Kau perlu berkali-kali
diingatkan bahwa resiko itu selalu ada tidak peduli kau sedang apa. Hal itu
terkadang membuat langkahmu tersendat, kau sudah sibuk lebih dulu mencari
banyak mantra agar segala resiko itu benar-benar tidak ada. Kau tahu, itu hanya
akan membuang-buang waktumu. Hadapilah!
Aku juga manusia
biasa. Aku memiliki rasa takut yang sama dalam menghadapi resiko. Tapi bukankah
dua orang penakut bisa menjadi dua orang yang pemberani jika terus bersama?
Bukan begitu?
Komentar
Posting Komentar