BERBEDA
Bahkan kita pernah
lebih dekat dari ini, dari biasanya. Dalam kedekatan itu, aku berharap waktu
berhenti berputar. Saat itulah aku dapat merasakan hangatnya hembusan nafasmu.
Kamu membuatku merasa dilindungi dengan lembutnya suaramu. Kedekatan yang hanya
terjadi dalam hitungan detik mampu membuatku tersenyum malu sendirian,
membuatku terjaga sepanjang malam. Terimakasih sudah memberikan kebahagian
kecil untukku. Duduk di sampingmu, berbicara denganmu, dan saat itulah untuk
pertama kalinya aku dapat menatap matamu lebih dekat. Sorot matamu mampu
melindungiku, memberikan kenyamanan, dan menghangatkanku. Karena sorot matamu
itu, sampai sekarang aku kebingungan. Kamu selalu hadir dalam setiap tarikan
nafasku, menyapaku dalam mimpi, dan membayang-bayangiku setiap apa yang
kulihat. Terimakasih untuk dua hari yang kamu berikan.
Kembali terlintas
dalam pikiranku mengenai apa yang kita jalani selama ini. Perbedaan yang
menjadi musuh terbesar dan terberat buat kita. Agama dan cinta. Sebenarnya
sudah jelas apa yang harus kita lakukan, tapi itu dulu jika kita belum
terlanjur memulai dan menerima perbedaan ini sebagai tanggung jawab yang harus
kita hadapi bersama. Memang inilah kesalahannya, kita sudah lebih dulu memulai
dengan perasaan ini sehingga pada akhirnya kita kebingungan sendiri dalam
memilih apa yang kita inginkan untuk mengakhiri. Bahagiakah atau menyedihkan.
Selalu saja ada hal menyakitkan di setiap kenangan indah yang kamu berikan.
Seperti sekarang, baru dua hari yang lalu aku bahagia. Tiba-tiba muncul begitu
saja satu hal yang selama ini dengan susah payah kita hadapi. Satu hal yang
sebenarnya selalu kita hindari dalam setiap topik pembicaraan, pada setiap
momen indah yang kita ciptakan, dalam tulisanku, maupun fotomu. Perbedaan.
Kita memang berbeda
dalam segala. Suku, hobi, jarak yang menyiksa. Tapi semua mampu kita hadapi.
Kita selesaikan dalam setiap kebersamaan yang kita bangun. Jarak tidak menjadi penghalang, ada malam panjang yang
kita bangun begitu indah. Lembut suaramu di telepon membuatku terjaga sepanjang
malam, pesan-pesan singkatmu yang kubiarkan berlama-lama di inbox tentang
menjaga pola makan dan sebagainya. Semuanya begitu manis. Saling berbagi cerita
dengan dunia masing-masing. Aku yang suka menulis, my word my world. Menganggap
dunia yang luas bisa kudefinisikan hanya dengan 26 abjad yang dirangkai menjadi
kata, melebur dalam kalimat dan semakin indah jika memiliki makna. Bahkan kamu
mengisi hampir di setiap tulisanku. Kamu yang menganggap dunia yang luas bisa
digenggam dalam gambar yang kau abadikan. Aku bahagia menatapmu tertawa lepas
ketika kamu ceritakan tentang foto-fotomu. Andai saat itu datang kembali.
Dan akhirnya kita
kalah. Masih sulit kupercaya, apa kita sudah benar-benar berakhir ? Pada
akhirnya kita tidak bisa memilih. Sad ending-lah yang menghampiri kita. Kamu
tau kan aku suka menulis. Tentu saja aku masih menganggap ini bukan sebuah
perpisahan karena kamu tidak pernah mengucapkan kata pisah dan aku ingin
semuanya jelas dalam kata-kata. Mungkin bagi kamu ini hanya sebuah alasan, tapi
aku tidak. sungguh aku kebingungan dengan perasaan ini. Yang kubiarkan berlama
-lama, kuperjuangkan untuk seseorang yang percaya bahwa ini sudah berakhir.
Seharusnya kamu datang, entah untuk kembali padaku atau memberi pengertian
bahwa sehebat apapun dunia ada di tangan kita, tetap semesta tidak merasakan
kehadiran kita bersama. Seperti semuanya tidak mengizinkan 'kita'.
Kamu dan aku, kita,
taat dengan agama masing-masing. Ini yang membuatku sulit untuk benar-benar
melepasmu, bahkan bayanganmu sekalipun. Kamu sangat menghargai apa yang kamu
miliki, termasuk aku saat itu. Begitu dalam, sampai-sampai aku tidak tahan
ingin memelukmu tapi tidak pernah kulakukan. Lembutnya kamu menyemangatiku
untuk tidak meninggalkan kewajibanku, 5 waktu. Sebagai gantinya, tidak pernah
sekalipun aku lupa mengingatkanmu untuk beribadah di hari minggu,
membangunkanmu untuk ke gereja. Sebenarnya hubungan kita berjalan baik-baik
saja. Kita menikmati hal ini. Tertawa lepas dengan semua perbedaan ini. Kamu
yang membuatku gemas ketika susah payah aku membangunkanmu. Sebaliknya, aku
yang membuatmu greget menyuruhku sholat di awal waktu.
Tapi kita lupa bahwa
waktu terus berputar. Semakin hari, perbedaan ini semakin kuat menyerang kita.
Sungguh, aku tidak pernah menginginkan perpisahan yang seperti ini. Yang
membuatku tidak mengenalmu lagi. Kamu seperti memusuhiku bahkan mungkin merasa
tidak saling kenal. Itu menyedihkan. Menyakitkan buatku. Karena hal ini, kamu
membuatku takut, sebenarnya… aku benar-benar ingin menyapamu. Hanya menyapamu.
Ingin memanggilmu, baik bertemu secara langsung maupun media apapun. Ingin
sekali ku menyebut namamu, menulisnya di facebook ataupun twitter, tempat di
mana aku bisa melihatmu sesuka hati. Betapapun, perpisahan ini sampai membuatku
takut bahkan untuk menulis namamu. Dan… saat inipun begitu.
Komentar
Posting Komentar