Selalu Bersamamu
Beberapa minggu
terakhir aku seperti menarik diri entah karena apa. Dada begitu sesak, kepala
tidak henti-hentinya bersuara, sedang bibir tanpa sepatah katapun. Aku tidak
mengerti, mengapa aku begitu keras kepala tidak mau berbicara kepada siapa saja
selain Dia yang mau menangkap doa. Begitu keraskah semesta sampai aku hanya
mampu berpura-pura tertawa di depan mereka. Aku ingin membenci mereka yang bisa
menangis ketika kesal, tidak hanya diam ketika marah.
Aku kewalahan menuruti
keinginan diri tanpa kutahu kemana ego membawaku pergi. Aku ingin tenggelam
dalam keramaian, mengalihkan pesta di dalam badan sebab seringkali kepalaku
menyumpahi diri sendiri. Di lain waktu aku ingin menyepi, mendapati diriku mencari
kepastian hati, pada ucapan terbata-bata di depan lelah dan airmata. Kapan
terakhir kali aku berdamai dengan diri sendiri? Entahlah. Mungkin ini saatnya
aku menyapa seseorang dalam diriku, perempuan kecil yang sudah lama
kutinggalkan, karena dia adalah siapa-siapa ketika aku merasa tidak memiliki
siapa-siapa. Aku terlalu keras padanya, seharusnya ku biarkan ia berlari-lari,
tertawa, dan bermain ketika memang ia ingin.
Siapa yang menepikan
diri ini jika bukan aku. Tubuhmu ingin bertemu dengan manusia lain, isi
kepalamu ingin berjabat dengan pikiran orang lain, dan hatimu-hanya gurun yang
tidak ingin dibohongi. Kau akan kuat tanpa perlu memaksa, Nona. Kau tetaplah
dirimu sendiri bahkan ketika bersedih. Tidak perlu keras terhadap hatimu, tanpa
sadar membangun perasaanmu menjadi sebuah robot. Kau adalah perempuan yang akan
patah hati sesekali, jatuh-bangun berkali-kali, bodoh untuk ratusan atau bahkan
ribuan kali, dan lelah untuk kesekian kalinya. Ada saat di mana kau harus
mengalah dengan masalahmu, saat kau benar tetapi disalahkan, saat kau peduli
tetapi keadaan memaksamu untuk membenci, saat di mana kau harus bertingkah
manusiawi di depan sesamamu-karena memang kau seorang manusia.
Rasanya sulit sekali
membuat diriku mengerti bahwa ada kalanya mereka ingin mengenal emosiku, ingin
mendengar sejauh mana diriku bercerita, sekeras apa aku berteriak, dan sebanyak
apa aku menangis. Atau bagaimana caranya aku membuat diriku lebih tahu diri
bahwa dadaku yang sesak bosan dengan sebuah selimut, bergulung-gulung tisu,
kata-kata, dan jenaka yang kupaksakan di depan mereka. Aku ingin berteriak,
mengeluh, meronta-ronta, dan mengumpat di depan mereka ketika aku kehabisan
cara untuk mengenal diriku sendiri. Sesekali aku ingin menjadi pribadi yang
ramah pada keterbatasanku. Aku ingin memeluk anak kecil yang berlari-lari dalam
tubuhku, mengatakan kepadanya bahwa Tuhan mencintaimu.
Komentar
Posting Komentar