Bertemu Untuk Berpisah
Bodoh.
Bertemu kemudian berpisah. Untuk apa?
Berpisah
tapi masih merasakan saling. Untuk apa?
Memang. Tidak pernah
ada kita. Tidak. Pernah. Jika ada yang menyebut aku dan kamu adalah kita, sudah
pasti bukan kita. Hanya orang-orang yang berprasangka, kemudian dengan egois
aku dan kamu mengamininya. Sebenarnya, banyak kesempatan untuk kita bisa bertemu.
Tapi kau tahu, Tuhan Maha Bercanda, banyak pula kesempatan yang membuat kita
tidak bisa bertemu. Kita hampir putus asa dengan keadaan. Aku di mana, kau ke
mana. Kau sedang apa, aku bersama siapa. Aku bisa, kau kesulitan. Aku dan kamu
tujuannya sama, tapi semesta yang tidak suka. Begitu terus sampai berhari-hari
kita diam tanpa kabar. Jenuh dengan kata-kata yang itu-itu saja, bosan dengan
janji-janji siapa.
Tapi aku masihlah
perempuan biasa, yang begitu perasa dan tidak tega membiarkanmu pergi diantar
senja sendirian. Tidak seperti perpisahan sebelumnya, di mana kau membiarkanku
menunggu dirimu mempertegas kepergianku. Kau tidak mengizinkanku menampung satu
lagi memori di mana kau melangkah pada ramai stasiun sore itu. Tidak seperti
itu. Pertemuan kali ini lebih seperti perayaan. Merayakan kehilangan.
Suasana stasiun pada
malam itu cukup ramai, membuatku semakin berdebar-debar ingin melihatmu.
Sesekali aku melihat jam tanganku, mengecek ponselku, merapikan hijabku, dan
entah apa yang membuatku tersenyum sendirian. Kau tampak kelelahan karena
seharian menyelesaikan pekerjaanmu. Kau butuh tidur atau bahuku. Kemudian kita
bertemu dalam jarak yang cukup membuatku jatuh ke dalam pelukanmu. Tuhan memang
sedang bercanda kala itu. Bagaimana caranya kali ini kau yang tampak begitu
senang sedang aku justru kelelahan menahan airmata yang kapan saja bisa tumpah
di depanmu.
Andaikan bisa, aku
ingin menangis sejadi-jadinya dalam dadamu, menepis riuh kepalaku. Begitu
banyak pertanyaan ketika aku menatapmu. Bagaimana aku bisa di sini berdiri di
depanmu? Apa yang harus ku lakukan ketika lambaian tanganmu menjadi sebuah
titik yang tak bisa ku kenali? Bagaimana sikapku ketika langkahmu menjauh dan
yang tersisa hanya kau yang memunggungiku? Apa aku harus menahanmu? Menangis
mengantar kepergianmu? Atau lagi-lagi menyimpan semuanya di balik senyumku?
Kau memainkan
jemariku. Gemas, kagum, rindu. Kau lebih banyak bercerita malam itu, sedang aku
hanya mampu menatap dan mendengarmu, dengan bibir yang tak henti-hentinya
tersenyum. Aku benar-benar kalah telak di hadapanmu. Beberapa jam kemudian, kau
mulai diam karena lelah berbicara. Haha. Maafkan. Aku bukanlah perempuan yang
pandai mengekspresikan perasaan. Aku merindukanmu lebih dari yang kau tahu.
Dari semua keindahanmu, aku sangat rindu tatapan itu. Kadang rupawan, kadang
sendu, kadang kekanakan, mengalir begitu saja sepanjang ceritamu. Ah Mas,
bagaimana bisa kau pergi saat aku sedang tersesat di matamu. Atau kau sengaja
pergi agar aku tetap terperangkap dalam kebodohanku.
Sesekali kau menepuk
punggung tanganku, bercerita panjang lebar apa yang kau lakukan di sana dan di
sini, apa yang membuatmu kemari dan ingin kembali. Sungguh, aku tidak ingin kau
pergi karena kutahu setelah kepergianmu kali ini, kita benar-benar telah selesai.
Sepasang asing yang akan saling mengucap "hai" dengan cara yang aneh,
canggung dan perih. Setelah ini kita akan mengingat untuk melupa. Kita akan
sibuk dengan patah hati masing-masing hingga sepasang hangat itu lama-kelamaan
akan menjadi sepasang sepi.
Malam itu, sebelum
benar-benar hilang, kau bertanya padaku,"sudah lebih baikan
sekarang?" Aku tidak mengerti maksudmu dan anehnya aku mengangguk.
"Mas akan kembali ke sini entah kapan, kamu jaga kesehatan ya."
Bahkan kau masih bisa memberiku harapan (lagi). Aku tidak tahu, siapa yang
jahat di antara kita. Aku ingin menyudahi semuanya, tapi di sisi lain aku tidak
ingin kau pergi. Egois. Maafkan perempuan bodoh ini Mas. Dia hanya tidak
mengerti bagaimana caranya membuatmu tetap tinggal, bagaimana caranya merelakan
kerinduan, bagaimana caranya menyelesaikan perasaan, dan bagaimana caranya
membuatmu tahu kalau ia mencintaimu.
Tuhan
Maha Bercanda. Beberapa pertemuan tidak untuk mempersatukan tapi sebagai
pelajaran untuk menghargai kebersamaan dan merayakan kehilangan. Semoga yang
jauh segera pulang, dan yang sudah pulang tidak semudah itu melepas pelukan.
Semoga.
Komentar
Posting Komentar