Bertemu Untuk Berpisah

taken by: Nyoman Suarningrat

Bodoh. Bertemu kemudian berpisah. Untuk apa?
Berpisah tapi masih merasakan saling. Untuk apa?

Memang. Tidak pernah ada kita. Tidak. Pernah. Jika ada yang menyebut aku dan kamu adalah kita, sudah pasti bukan kita. Hanya orang-orang yang berprasangka, kemudian dengan egois aku dan kamu mengamininya. Sebenarnya, banyak kesempatan untuk kita bisa bertemu. Tapi kau tahu, Tuhan Maha Bercanda, banyak pula kesempatan yang membuat kita tidak bisa bertemu. Kita hampir putus asa dengan keadaan. Aku di mana, kau ke mana. Kau sedang apa, aku bersama siapa. Aku bisa, kau kesulitan. Aku dan kamu tujuannya sama, tapi semesta yang tidak suka. Begitu terus sampai berhari-hari kita diam tanpa kabar. Jenuh dengan kata-kata yang itu-itu saja, bosan dengan janji-janji siapa.

Tapi aku masihlah perempuan biasa, yang begitu perasa dan tidak tega membiarkanmu pergi diantar senja sendirian. Tidak seperti perpisahan sebelumnya, di mana kau membiarkanku menunggu dirimu mempertegas kepergianku. Kau tidak mengizinkanku menampung satu lagi memori di mana kau melangkah pada ramai stasiun sore itu. Tidak seperti itu. Pertemuan kali ini lebih seperti perayaan. Merayakan kehilangan.

Suasana stasiun pada malam itu cukup ramai, membuatku semakin berdebar-debar ingin melihatmu. Sesekali aku melihat jam tanganku, mengecek ponselku, merapikan hijabku, dan entah apa yang membuatku tersenyum sendirian. Kau tampak kelelahan karena seharian menyelesaikan pekerjaanmu. Kau butuh tidur atau bahuku. Kemudian kita bertemu dalam jarak yang cukup membuatku jatuh ke dalam pelukanmu. Tuhan memang sedang bercanda kala itu. Bagaimana caranya kali ini kau yang tampak begitu senang sedang aku justru kelelahan menahan airmata yang kapan saja bisa tumpah di depanmu.

Andaikan bisa, aku ingin menangis sejadi-jadinya dalam dadamu, menepis riuh kepalaku. Begitu banyak pertanyaan ketika aku menatapmu. Bagaimana aku bisa di sini berdiri di depanmu? Apa yang harus ku lakukan ketika lambaian tanganmu menjadi sebuah titik yang tak bisa ku kenali? Bagaimana sikapku ketika langkahmu menjauh dan yang tersisa hanya kau yang memunggungiku? Apa aku harus menahanmu? Menangis mengantar kepergianmu? Atau lagi-lagi menyimpan semuanya di balik senyumku?

Kau memainkan jemariku. Gemas, kagum, rindu. Kau lebih banyak bercerita malam itu, sedang aku hanya mampu menatap dan mendengarmu, dengan bibir yang tak henti-hentinya tersenyum. Aku benar-benar kalah telak di hadapanmu. Beberapa jam kemudian, kau mulai diam karena lelah berbicara. Haha. Maafkan. Aku bukanlah perempuan yang pandai mengekspresikan perasaan. Aku merindukanmu lebih dari yang kau tahu. Dari semua keindahanmu, aku sangat rindu tatapan itu. Kadang rupawan, kadang sendu, kadang kekanakan, mengalir begitu saja sepanjang ceritamu. Ah Mas, bagaimana bisa kau pergi saat aku sedang tersesat di matamu. Atau kau sengaja pergi agar aku tetap terperangkap dalam kebodohanku.

Sesekali kau menepuk punggung tanganku, bercerita panjang lebar apa yang kau lakukan di sana dan di sini, apa yang membuatmu kemari dan ingin kembali. Sungguh, aku tidak ingin kau pergi karena kutahu setelah kepergianmu kali ini, kita benar-benar telah selesai. Sepasang asing yang akan saling mengucap "hai" dengan cara yang aneh, canggung dan perih. Setelah ini kita akan mengingat untuk melupa. Kita akan sibuk dengan patah hati masing-masing hingga sepasang hangat itu lama-kelamaan akan menjadi sepasang sepi.

Malam itu, sebelum benar-benar hilang, kau bertanya padaku,"sudah lebih baikan sekarang?" Aku tidak mengerti maksudmu dan anehnya aku mengangguk. "Mas akan kembali ke sini entah kapan, kamu jaga kesehatan ya." Bahkan kau masih bisa memberiku harapan (lagi). Aku tidak tahu, siapa yang jahat di antara kita. Aku ingin menyudahi semuanya, tapi di sisi lain aku tidak ingin kau pergi. Egois. Maafkan perempuan bodoh ini Mas. Dia hanya tidak mengerti bagaimana caranya membuatmu tetap tinggal, bagaimana caranya merelakan kerinduan, bagaimana caranya menyelesaikan perasaan, dan bagaimana caranya membuatmu tahu kalau ia mencintaimu.


Tuhan Maha Bercanda. Beberapa pertemuan tidak untuk mempersatukan tapi sebagai pelajaran untuk menghargai kebersamaan dan merayakan kehilangan. Semoga yang jauh segera pulang, dan yang sudah pulang tidak semudah itu melepas pelukan. Semoga.


Komentar