Ia Yang Kau Tinggalkan
Tak ada yang harus
dirindukan, karena ini bukanlah hujan di bulan Juni. Namun kenapa gerimis di
pipi masih tentangmu? Sepasang tatap sudah bingung mau diapakan lagi mendung di
penghujung Oktober ini, tak pula pergi di balik jendela dan daun-daun basah. Apa
yang ia harapkan dari sepetak tanah beraroma. Tak ada. Tetap tak mengembalikan
tawa yang ada saat riuh kepala dan terik di kota ini kau genggam dalam jemari
kita bersama. Ia jenuh, pada kepergianmu, pada kelambu malam, pada cahaya dari
sepasang tatap yang ia rindukan. Sebenarnya ia jenuh atau rindu?
Kau tak pula bertanya,
tak mengemas kabarnya pada kata-kata yang biasa kau ucapkan. Mau kau apakan ia?
Tak usah bawa-bawa aku yang limbung mendengar kau meninggalkannya. Kau sebut
dirimu pengembara. Kau terlalu pengecut untuk tinggal atau tak bisa pulang?
Coba katakan. Bukan kepadaku, tapi ia. Kau lihat ujung-ujung rambutnya yang
basah karena laut di matanya. Ia memikirkanmu sepantasnya. Memang sepantasnya,
sebab sebulan lalu tak perlu kau genggam tangannya, atau kau rangkul dan peluk
dirinya. Apa yang kau anggap tak pantas, kini menjadi pantas untuknya.
Ia berhak tahu,
mendengar, atau melihatmu. Kau bukanlah udara yang tidak bisa ia lihat, sebab
ia lebih realistis dari itu. kau adalah apa yang ia sebut nyata, meski
seringkali kau melewatkannya. Seandainya kau adalah peragu yang menunggu
peluknya, jemari yang menggilai senyumnya, atau setidaknya langkah demi langkah
yang mengikuti bayangannya. Mungkin ia takkan menerka-nerka beda yang ada,
sebab ia sudah terlanjur menjadi pendosa.
Ya. Ia, dan juga kau.
Kalian kurang lebih sama.
Hujan seringkali turun
ketika sore hari, dan ia ingin senyumanmu untuk berteduh. Bolehkah? Maka
kembalilah. Ia bilang kau adalah persinggahan, namun kau lebih tahu kalau ia
tak lebih seperti bocah yang tak mengerti caranya berbohong. Ada airmata yang
harus kau seka dengan aroma tubuhmu seutuhnya. Ketika langit pagi belum cukup menyembuhkan, kau
masih menjelma rindu yang diam-diam ia kepal dalam sakunya.
Ia adalah apa yang kau
sebut lupa, meski sudah berapa kali, entahlah, mungkin ribuan namamu ada dalam
lipatan kitabnya. Cukup kau pulang saja. Kau adalah luas dan curam yang sering
ia ceritakan, tetapi ia tak menyebutmu sebuah pendakian. Baginya, tak ada yang
perlu ia kejar dalam dirimu sebab kau akah tetap kokoh berdiri dengan
pura-pura-tidak-ingin-tahu mu. Kalian memiliki ikatan yang tulus terhadap
apa-apa yang belum terucapkan. Namun keadaan yang tidak siap untuk mendengar
'seandainya' yang bahkan belum kalian simpul pada genggam kala itu.
Suatu hari, saat hujan
tak lagi sama rasanya, saat pelukan adalah senyatanya dunia sedang bekerja,
hadirmu adalah keinginan. Itu saja.
Komentar
Posting Komentar