Melati

Matamu masih malam laut; yang taat pada pelaut, yang luas tak tertempuh, yang sunyi berpeluh, yang anginnya membingungkan perahu. Sedang aku tinggal di dalamnya; yang rengkuh pada pasang surut, yang semrawut ke pucuk-pucuk kalut, yang menjadikan gigilku tidak berarti apa-apa di tengah angin darat dan angin laut.

Kau masih menderu, menggulung pasir semaumu. Kau seperti pertandingan untuk dirimu sendiri. Aku masih ulat teh yang sembrono jatuh ke daun kering. Mataku terarah lurus padamu, menyaru bersama lamunan lembayung di utara yang sarat akan jingga menyentuh bahumu.

Aku berpayah menatah diri pada titik yang masih kujagai dari ujung cahayaku, sebab wangi rempah telah menguning di bibir dan jemarimu. Membawaku berpindah-pindah bangku agar kakiku menyentuh ujung sepatumu.


Kau melanglang buana di keningmu yang berpendar memeras sari malam dan kutuk siang separuh kota. Kau menghitung bijih padi sebanyak sepuluh hingga tinggal satu. Kuberanikan diri menanyai darimana kau dapat gelung rambut memanjang ke buhul melati, lalu di depan semua orang, kau memelukku sambil menangis tak putus-putus.


Komentar