KOTA
Berjuta-juta malam
kita rayakan dengan kerlap-kerlip lampu jalan. Kita mengendus setiap
jejak-jejak asing yang mungkin kan gantikan baju usang yang lengket dengan
kardus seribuan. Berlari-larian itu mungil sebab langkah yang dulu telah
keropos di makan angin kota. Orang kota akan selalu seperti itu, ramah pada
gedung tinggi dan rumah berpagar. Tapi cahaya malam yang katanya menakutkan
masih tak bisa menghalangi rute tawa kita. Bagaimanapun, kita masihlah angin
desa, hanya sedang menunggu kota mengantar pulang pada selimut kuning simbah.
Belum juga tiba, musim
kemarau sudah datang. Teras-teras mulai gusar, kanal ini-kanal itu minta
dibelikan kereta labu Cinderella. Kalau bisa sekalian dikirimkan pangeran. Kita
tidak peduli, nasi sekepal sedang kita penggal dalam tubuh yang seperti gigi tanggal.
Kita menonton mereka yang menontoni kita. Cangkir-cangkir berdenting di bawah
atap tak berayap dan tak bersemak.
Apa yang sudah kita
lakukan dengan kota ini?
Mengapa ia malah
mengiba kepada kita?
Sudah turun tahta
rupanya, tak jadi menikahi siapa dan apa,
malah dikekang ratap
dunia.
Komentar
Posting Komentar