biografi bunda fatmawati

RIWAYAT HIDUP SINGKAT DAN PERJUANGAN IBU FATMAWATI 

I. Lahirnya Seorang Pejuang Wanita Sejati 

Orang boleh beranggapan, bahwa Bengkulu masih tergolong wilayah pinggiran yang dianggap jauh dari arus aktivitas kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Akan tetapi sejarah telah membuktikan, bahwa di Bengkulu inilah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh patriotik yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional. Di Bengkulu inilah telah dilahirkan seorang anak perempuan yang ternyata dikelak kemudian hari menjadi seorang ibu negara (first lady) Republik Indonesia, tepatnya pada hari Senin, jam 12.oo (WIB) pada tanggal 5 Februari 1923, di sebuah rumah bergandeng di kampung Pasar Malabero, Bengkulu.

Oleh orang tuanya, diberilah nama Fatmawati, yang mengandung arti, Bunga Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya. Ayahnya, Hassan Din adalah pemimpin organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu.

II. Masa Kanak-Kanak Dan Remaja

Pada umumnya, kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap masa kecil seseorang. Demikian juga Fatmawati, bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.

Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada kakeknya maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Ketika berusia enam tahun, Fatmawati dimasukkan ke Sekolah Gedang (Sekolah Rakyat) namun pada tahun 1930 dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsch School). Ketika duduk di kelas tiga, Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke sekolah HIS Muhammadiyah. Hasan Din menghadapi masalah ekonomi yang cukup berat dan untuk meringankan beban orang tuanya, Fatmawati membantu menjajakan kacang bawang yang digoreng oleh ibunya atau menunggui warung kecil di depan rumahnya.

Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja. Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung, serta berobat sendiri ke rumah sakit, merupakan bukti diri akan semangat kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang baru menginjak tujuh tahun itu sangat mengagumkan.

III. Prinsip Anti Poligami

Ada suatu kejadian menarik ketika Fatmawati berusia empat tahun, seorang ahli nujum terkenal dari India membaca suratan tangan Hasan Din. Ahli Nujum tersebut mengatakan bahwa kelak jika anak perempuannya besar nanti akan mendapatkan jodoh orang yang mempunyai kedudukan tertinggi di negeri ini. Hasan Din tidak begitu saja mempercayai ramalan tersebut, karena di masa itu jabatan tertinggi dipegang oleh orang Belanda sementara orang pribumi paling tinggi menjabat sebagai Wedana. Suatu hari Fatmawati diajak oleh ayahnya untuk bersilaturahmi dengan seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Bengkulu, yaitu Ir. Soekarno. Kesan pertama Fatmawati terhadap Soekarno pada waktu itu adalah sosok yang tidak sombong, memiliki sinar mata berseri-seri, berbadan tegap serta tawanya lebar. Hubungan keluarga Soekarno dengan keluarga Hasan Din terjalin erat dengan adanya kesamaan pikir untuk memajukan serta merubah kehidupan bangsa yang semakin hari semakin tertindas.

Fatmawati yang telah menganggap dekat dengan keluarga Soekarno, bermaksud meminta pandangan Soekarno tentang pinangan seorang pemuda anak Wedana. Ketika hal tersebut disampaikan, Fatmawati melihat perubahan raut wajah Soekarno dan akhirnya dengan suara pelan dan berat Soekarno mengeluarkan isi hatinya. Fatmawati sangat kaget ketika mendengar bahwa sebenarnya Soekarno telah jatuh cinta seja pandangan pertama kepadanya namun hal itu tidak diungkapkan karena Fatmawati masih terlalu muda. Fatmawati sangat gelisah dan menolak, sebagai seorang wanita ia tidak mau mengkhianati kaumnya karena Soekarno telah beristri. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa empati terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami.

Tidak lama setelah itu terdengar kabar bahwa rumah tangga Soekarno dengan Inggit Garnasih telah berakhir. Bung Karno memberi kabar serta mengatur jalan menuju keperkawinan. Fatmawati menikah dengan Soekarno ketika berusia 20 tahun pada bulan Juli 1942. Hubungan Fatmawati dengan suaminya sangat harmonis, Soekarno membuka pandangan-pandangannya tentang perjuangan bangsa Indonesia dan selalu memberinya perhatian.Tahun 1944 Fatmawati melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Muhammad Guntur Soekarno Putra. Para petinggi Jepang yang mengenal dekat Bung Karno juga menyambut gembira kelahiran ini, bahkan Jendral Yamamoto menamai Muhammad Guntur dengan nama Osamu.

Setelah pembacaan Proklamasi, situasi Jakarta semakin gawat sehingga pada tanggal 19 September, Bung Karno berpidato yang dihadiri ribuan rakyat di lapangan Ikada Jakarta. Dalam mendampingi Bung Karno sebagai Presiden, penampilan Fatmawati tetap sederhana, ia memberikan teladan yang baik bagi kaum perempuan Indonesia baik dalam bersikap, bertingkah laku maupun dalam berpakaian. Kemanapun pergi, Fatmawati selalu memakai kerudung yang menjadi ciri khasnya dan Bung Karno selalu memujinya. Fatmawati juga mendampingi Bung Karno ketika terpaksa harus hijrah ke Yogyakarta dan kemudian melahirkan anak kedua yang diberi nama Megawati Soekarno Putri. Kelahiran anak keduanya ini tepat pada saat beduk adzan Maghrib berbunyi pada tanggal 23 Januari 1946 dan ditandai dengan turunnya hujan yang sangat lebat disertai bunyi halilintar. Hal yang paling membuat hatinya pilu adalah ketika ia dituntut untuk mandiri karena Bung Karno dan Bung Hatta harus diasingkan ke Pulau Bangka, sementara keluarganya tidak diperbolehkan turut serta. Pada tanggal 27 September 1951 Fatmawati melahirkan anak perempuan lagi yang diberi nama Dyah Permana Rachmawati. Menyusul kemudian anak keempat yang diberi nama Dyah Mutiara Sukmawati. Keinginan Fatmawati memiliki anak laki-laki lagi terkabul dengan lahirnya Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra pada 13 Januari 1953.

Suatu hari, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 (dua hari setelah beliau melahirkan anak yang kelima, yang bernama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra), tiba-tiba Bung Karno menyatakan keinginannya untuk kawin lagi. Dengan perasaan yang tabah, beliau pun menjawab: “boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orang-tua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami”. Fatmawati tetap berprinsip tidak menyetujui poligami yang menginjak martabat wanita dan ia memilih berpisah dengan suaminya. Sungguhlah tidak bisa kita bayangkan, betapa tulus pengabdian beliau kepada seorang suami yang sekaligus seorang presiden, dan betapa besarnya pengorbanan beliau selama masa perjuangan baik sebelum kemerdekaan maupun pasca kemederkaan bangsa Indonesia, yang kemudian harus menjalani kehidupan seorang diri. Fatmawati tetap keras kepala sampai ajal Bung Karno. Ia tak mau menghadiri ke pemakaman suaminya. Ia tetap tak bisa memaafkan tindakan suaminya mengawini orang lain. Namun satu hal , ia tetap mencintai Bung Karno. Dengan caranya sendiri. Ia hanya mengirim karangan bunga bertuliskan.“ Cintamu yang selalu menjiwai rakyat. Cinta Fat “ 

IV. Ibu Fatmawati dan Sang Saka Merah Putih

Perjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri. Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ?

Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Berikut petikan dari karya tulisan beliau yang berjudul: “Catatan Kecil Bersama Bung Karno”,
Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di depan kamar tidurku.

Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka amatlah sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia. 
V. Perjuangan Ibu Fatmawati dalam Perang Gerilya

Semenjak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gejolak api revolusi semakin membara. Oleh karena situasi keamanan di ibukota Jakarta hingga akhir tahun 1946 dianggap sangat membahayakan, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Republik Indonesia memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi keselamatan para pemimpin bangsa maupun pemerintahan Republik Indonesia. Dan sebagai ibu negara, tentu saja Ibu Fatmawati sekeluarga ikut hijrah ke Yogya, meskipun harus melewati pagar berduri.

Selama di Yogya, Ibu Fatmawati tidak saja berperan sebagai pengatur rumah tangga kepresidenan yang setiap saat harus melayani dan menjamu para pejuang yang sering datang hilir mudik. Bahkan beliau tidak segan-segan pernah pergi sendiri tanpa pengawal berbelanja ke pasar. Di samping itu, beliau juga sering mendampingi Presiden ke daerah-daerah baik Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat, untuk memberikan wejangan-wejangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Selanjutnya Ibu Fatmawati sekeluarga pindah ke rumah kosong di Batanawarsa, dekat Kali Code. Meskipun pasukan Belanda sering mengawasi rumah yang ditempati oleh beliau, tetapi beliau masih tetap menjalin kontak dengan para pejuang yang bergerilya. Secara sembunyi-sembunyi beliau membantu mengirim perbekalan para pejuang yang bergerilya baik berupa makanan, maupun pakaian. Bahkan beliau pernah menyerahkan beberapa butir pelor yang ditemukan di halamannya untuk diserahkan kepada gerilyawan. Di samping itu, beliau juga membagikan makanan kepada para istri pejuang yang ditinggal bergerilya.

Beliau pada akhirnya meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, 14 Mei 1980 pada umur 57 tahun. Setelah menunaikan ibadah umroh meninggal karena terkena serangan jantung ketika pesawat singgah di Kuala Lumpur dalam penerbangan menuju Jakarta dari Mekkah. Jenasahnya dikebumikan di pemakaman umum Karet Jakarta. Jasa beliau tidak begitu saja dilupakan.

“Biarpun bunga teratai telah membangkai, 
kenangan harumnya takkan sirna,
biarlah peristiwa itu telah terlupa, 
tapi fakta tetap bicara”

Komentar