Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Setelah kamu pergi

Waktu kamu pergi, banyak hal yang berubah. Tepatnya diriku yang berubah, perubahan yang aku gak suka. Aku makin jauh dengan diriku sendiri. Banyak kebiasaan yang aku lakukan bahkan sebelum ketemu kamu, akhirnya berhenti. Menulis jadi salah satu kegiatan yang aku hindari. Beberapa lagu Barat yang biasanya membuatku enjoy , tidak lagi aku dengarkan. Menonton film jadi membosankan. Perihal mengingatmu, aku diam di tempat. Tidak membuatku move on , pun tidak lantas membuat kita kembali bersama. Butuh waktu bertahun-tahun untuk aku sadar kalau ternyata banyak bagian dari diriku yang hilang ketika kamu pergi. Aku belajar mengenal diriku kembali, sampai sekarang masih kulakukan, dan itu gak mudah. Aku selalu bilang aku baik-baik aja dengan maksud perasaanku yang kosong mungkin saja bisa berani untuk terbuka kembali. Aku tau itu semua sia-sia. Satu-satunya yang tersisa adalah ingatanku yang payah, bagaimana bisa aku hapal nomor whatsapp-mu meski tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk del...

Tanggal Dua yang Kesepian

Kamu menutup semua akses komunikasi. Aku tau, aku belum cukup tahu diri untuk berhenti. Apa masih boleh aku merindukanmu? Aku tidak tanya ini pantas atau tidak. Tentu, tidak pantas seperti yang sudah kubilang aku belum cukup dewasa untuk menerima sebuah perpisahan. Kukira sedang di fase trauma, atau mungkin aku yang terlalu keras kepala untuk melupakan. Kadang aku marah padamu. Tenang saja, kemarahanku tidak akan menganggumu. Apa tidak pernah terlintas sebentar saja kamu memikirkanku? Atau kamu sudah terbiasa tega tak ingin tahu keadaanku? Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya merindukan seseorang begitu lama, berhari-hari, sementara wajahnya mulai samar-samar di kepala? Bukan sudah melupakan, tetapi karena sudah begitu jauh kita sekarang. Tidak perlu diberitahu lagi. Aku tahu, aku bodoh. Seperti yang pernah kamu katakan, apa yang bisa aku harapkan dengan menyukai laki-laki sepertimu. Aku juga ingin berhenti, sungguh. Tapi sebentar saja bisa kamu bayangkan bagaimana lelahnya menjadi aku...
Karena ketidakpedulianku, aku ingin tahu dari sudut pandangnya. Sedalam apa rasa kesepian yang tidak pernah ia tunjukkan, bahkan mungkin di depan "teman seumur hidup"nya. Dari sebuah kursi yang menjadi tempat ia bersantai sehari-hari, kursi kayu usang yang sering berderit setiap kali ia duduk. Bantalan kursi yang sudah tipis menandakan betapa banyak waktu berlalu  ia habiskan untuk menekuni setiap tingkah laku yang kami lakukan. Namun begitu, kursi tersebut sudah seperti teman yang selalu memberi kenyamanan.  Malam, di mana ia seringkali tersesat dalam kewajibannya yang tidak pernah usai. Ia tutupi dengan senyuman, atau sekadar kelakar dengan cerita berulang-ulang. Tahu kenapa ia sering membuat lelucon yang sama? Karena ia ingin selalu melihat tawa kami pada lelucon pertama. Di balik kacamatanya, ada wajah yang lelah seharian menemui terik untuk mencari ini-itu yang kami inginkan. Bahunya yang mulai turun, membuatku ingin memahami seberat apa beban yang tak pernah ia ceritak...