Kita Udahan Dulu Ya
Apa-apa yang belum
tersurat di antara kita sebenarnya sudah tersirat, hanya saja kita terlalu
sering berpura-pura. Pura-pura tenang, pura-pura bahagia padahal kita sibuk
menunggu rindu datang, menerka-nerka apakah rindu sudah sampai dan tersampaikan
di sana. Persamaan kita adalah sama-sama tidak mengerti bagaimana caranya
mengekspresikan perasaan tetapi berharap salah satu lebih dulu menunjukkan
kasih sayang. Jika benar-benar sayang kenapa takut untuk mengatakan. Kau takut
untuk menyakiti perasaan, sedang aku tidak mampu mengartikan kata dan gerak
yang kau berikan. Seringkali kita berselisih paham, saat aku tidak ingin kau
merasa terganggu sedang ternyata yang paling kau butuhkan adalah aku. Meski
begitu, anehnya aku selalu memaafkanmu, tanpa kau minta, tanpa kau tahu.
Dan apa yang
sebenarnya sudah tersirat membuatku lelah menunggu apalagi ketika ku tahu aku
berjuang sendirian untuk menjadikan semuanya sebuah suratan, atau garis tangan
yang ku impikan. Meski sudah tersirat, aku memilih berhenti sebab ku tahu
sampai kapanpun kau tidak akan berikan kepastian. Kalau saja bisa, pasti
kuberikan kesempatan sekali lagi. Terserah mau kau gunakan untuk apa, mencintai
atau menyakiti kembali. Toh, aku sudah jatuh dan patah berkali-kali saat
bersamamu.
"Mas boleh elus
kepalamu?" samar-samar suaramu mengalahkan berisik hujan deras di stasiun
pada malam itu. Sebuah permintaan izin yang menggemaskan menurutku. Kau
mengerti maksud senyumku-mengiyakan permintaanmu. Meski bercampur malu-malu,
tidak bisa kupingkiri hati ini pilu sebab sekali lagi aku melepas kepergianmu.
Pergi dan benar-benar berhenti bagiku. Mungkin benar jika ada kalimat yang
mengatakan," Yang dielus kepalanya, yang berantakan hatinya". Ya
Tuhan, tolong jangan sekarang. Jangan biarkan airmata ini jatuh di hadapannya.
Aku sudah banyak merasakan kalah telak dihadapannya, setidaknya kali ini aku
tidak ingin membuatnya pergi dengan beban di hatinya.
Setelahnya, tanganmu
jatuh ke punggung tanganku, menggenggam erat sampai dingin yang kurasa berubah
menjadi hangat dalam jemarimu. Sebenarnya bukan kali ini saja entah dengan
bagaimana caranya seolah aku ingin membawamu pergi dari hubungan yang sudah jelas
tidak berhasil ini. Aku tidak tahu kau merasakan atau tidak. Tapi aku tidak
ingin kita terluka, cukup aku saja. Itu mengapa sampai saat ini aku masih
belajar mengikhlaskan kepergianmu. Namun, anehnya kau selalu kembali, seperti
mengisyaratkan aku tidak berjuang sendiri-membuatku merasa bersalah karena
menganggapmu takkan berikan kepastian.
"Kita berjuang
sama-sama ya. Jaga kesehatan". Sambil menatapku kemudian mencium keningku.
Kalimat terakhir sebelum kau memberikan tiket ke petugas stasiun, sebelum
langkahmu benar-benar hilang dan menjauh. Aku tahu kau akan datang kembali,
namun jika tidak kau temukan diriku menyambutmu, maafkan aku. Aku sudah
melangkah terlalu jauh, kini saatnya aku kembali sebelum sakit ini benar-benar
menghancurkanku. Aku yang tidak peka dan sampai kapanpun kau tidak akan beri
tahu bagaimana caranya aku harus melangkah mundur. Memang, kita akan sama-sama
berjuang, bedanya aku berjuang melupakanmu.--
Komentar
Posting Komentar