Hampir Asing
Mas,
Apa kabar? Bagaimana
latihanmu? Sudah kau putuskan akan kerja dimana? Bagaimana hari-harimu mengejar
mimpi untuk membahagiakan ayahmu? Meski sudah sejauh ini, diam-diam aku yang
hampir asing masih menyentuh namamu pada doa pukul dua, bercerita perihal dirimu
kepada Tuhan agar suatu hari kita dipertemukan kembali. Sudah banyak malam ku
susun rencana-rencana jika nanti doaku dikabulkan, mengajakmu ke taman hiburan
atau kebun binatang. Kita akan duduk saling berhadapan atau saling menyandarkan
kepala di bahu. Sembari bertukar kabar dengan senyum yang mengembang.
Ingatkah kau, kali pertama
kita bertemu?
Ya, aku ingin pertemuan
itu kembali. Suka-suka saja, dalam suasana malam atau siang. Dimana kita saling
mengenal tawa masing-masing sebab mimpi kita terlalu romantis untuk dunia yang
bengis. Kau ceritakan cita-citamu, tentang negeri Timur Tengah, kelimpahan
minyaknya, dan keinginanmu untuk bisa terbang ke sana. Kemudian, entah kau
masih ingat atau tidak, aku hanya mampu menatap matamu, tempat kau letakkan segala
syukur yang seringkali kau ingatkan padaku. Aku terus menatap sampai kau jengah
dan balik bertanya tentang mimpiku. Kemudian sesekali gelak tawa kita bersama
teman-teman tumpah ruah membawa hangat untuk gigil pukul 10 malam itu.
Mas,
Aku ingin menulis tentang
2016 sebanyak cerita ini, namun tak kunjung bisa sebab beberapa bulan yang lalu
kau menjadi bagian dari akhir tahunku. Tentu sulit bagiku untuk merangkum semua
tentangmu-tentang kita. Belum selesai ku tulis, kata-kata lain sudah
kejar-kejaran ingin keluar dari kepala. Ya, lagi-lagi aku tidak tahu diri.
Masih mencarimu dalam ramai meski kutahu kau juga sedang mencari-bukan aku.
Tapi perlu kau tahu, tidak mudah bagiku untuk pergi sebab seringkali kau
menarikku kembali. Ketika kau minta aku untuk mencari yang lebih baik, kemudian
di lain waktu kau ingin dekat denganku. See?
Aku ingin kau lebih kejam
dari ini, agar aku yakin untuk pergi dan mampu tidak menoleh ke belakang lagi.
Bahkan ketika ku tahu dia masih bertahta di hati dan harimu, perempuan yang
lebih berkuasa atas jarak dan jeda di antara kita, tetap tidak membuatku ingin
melepasmu. Seperti yang pernah ku katakan sebelumnya, bukan kali pertama aku
menyakiti diriku sendiri untuk seseorang yang (sudah pasti) tidak bisa
kumiliki. Maaf, aku bukanlah perempuan yang peka, tidak juga mampu mengartikan
tiap baris kata yang kau ucapkan, atau maksud dari tatap, genggam dan
pelukanmu.
Jika memang kau ingin aku
pergi, katakan saja. Itu lebih baik daripada membuatku menunggu, menerka-nerka,
mengharap, bahkan khawatir ketika kau harus pulang larut malam karena kerja
sampinganmu. Mungkin kau tidak ingin menyakitiku, seperti kau menyayangi ibumu,
tapi percayalah akan lebih baik begitu. Terkadang aku lelah untuk mencari
diriku di matamu, aku kebingungan Mas.
Haruskah aku pergi, Mas?
Sekarang? Atau kapan saja ketika kau minta aku untuk pergi? Atau ketika kau
sudah menemukan pulangmu yang lain? Tapi, aku mohon ketika kau memintaku untuk
pergi, buatlah aku benar-benar asing untuk kita. Tidak perlu menarikku kembali
bahkan ketika kau menyadari bahwa akulah pulangmu yang sejati, ketika kau mengerti
bahwa dia yang selama ini tersenyum denganmu bukanlah seseorang yang
mencintaimu sesabar caraku menunggumu.
Tapi sebelum kita
benar-benar menjadi asing, aku ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya.
Merasakan jabat tanganmu, berterima kasih atas semuanya, untuk keberadaanmu,
untuk kesediaanmu menjadi diri sendiri, untuk mencintaiku dengan caramu.--
Di sebuah kota,
menjelang sholat jumat.
Komentar
Posting Komentar