19
Untukmu yang dewasa,
Sore ini habis
dengan diam. Meski begitu, entah untuk menit keberapa senyum ini selalu
mengembang. Seratus delapan puluh derajat di depanku, kamu, membuatku
berdebar-debar menunggu setiap kejutan pada sepotong cerita yang akan kita
ciptakan. Senja yang indah, senja yang cerah seperti mengulang pagi, membiarkan
kita mengecupi syahdunya satu persatu. Wajahmu yang cemberut sembari menjamah
setiap lekuk cameramu yang seksi, tak ayal membuatku liar dalam dunia khayalku.
Bisa kau lebih buruk dari ini? Apa tidak bisa kau tunjukkan sifat jahatmu agar
aku tak lagi terkunci pada sosokmu? Semakin kau diam, semakin aku ingin
melakukan pikiran liarku. Melumat bibirmu, menciumi kedua matamu, mengecup
keningmu, merasakan hidup pada setiap helai rambutmu, memelukmu, menikmati
aroma tubuhmu.
Aku terus
memperhatikanmu, menelanjangi satu persatu kemagisanmu yang kau sembunyikan
pada setiap lekuk tubuhmu. Hatiku membuncah, melompat sana-sini menikmati
percikan-percikan warna-warni bagai kembang api tahun baru. Entahlah, aku
tenggelam dalam senja atau pada sosokmu yang indah. Semakin aku menatapmu,
semakin kamu berpura-pura tidak melihatku. Meniru raut bocah, ngambek, karena aku melewati beberapa hari
sembilan belas tahun pertamamu tanpa apa-apa. Senja semakin merangkak
tenggelam, berganti gelap yang tertawa melihat bulan dengan bintang tersipu
malu memadu kasih pada aroma kopi yang menguap di udara. Kamu jengah terus
kuperhatikan, menatapku dan mengunciku dengan senyuman. Tetap kita pilih diam,
seiring dengan meja-meja bundar yang menyepi, pintu masuk yang berderit,
langkah-langkah kaki dengan beragam arah, berbagai sudut yang mereka pilih
untuk sekedar mencipta sepotong cerita dengan orang yang mereka cinta,
nampan-nampan yang berdenting bertemu cangkir-cangkir yang tampak malu-malu
melihat senyum para pelayan.
Kamu menggenggamku,
membuatku teringat kita bertemu di delapan belas tahun-mu. Kamu rebut
kenyamananku, melindungiku dengan lengan kokohmu. Terkadang aku malu, bagaimana
bisa kamu tetap melembut meski seringkali ku tampari dengan kekanak-kanakanku.
Kamu tetap meneduhkanku dengan tatapanmu meski seringkali kau kuciumi dengan
kata-kata kasarku. Kamu masih di situ, dengan pelukan hangat menenangkanku
karena keegoisanku sendiri. Tetap sabar menungguku mengalahkan airmata meski
seringkali kumuntahkan padamu dengan teriakan-teriakan kasarku.
Tiba-tiba kamu
berpindah, kursi di sampingku tampak lebih menyenangkan. Membiarkanku menemukan
dunia pada punggung yang kusentuh, menikmati lengan kokohmu dan aroma tubuhmu
yang memabukkan. Kamu begitu lembut bahkan untuk melihatku terserak-serak
sendirian mencari apa yang kamu suka, kamu tak bisa.
Tidak
perlu beri apa-apa, cukupkan saja aku dengan doamu. Jadikan aku meski hanya
sebaris kata atau sepotong kenangan pada lembar-lembar cerita yang kamu
ciptakan.
Kemudian sisanya,
kita biarkan alam yang bercerita sebelum kembali diperkosa oleh jarak dan
rutinitas yang buat sakit kepala. Hanya bisa melepas doa dalam gulita, saling
menyesap rindu di udara Selat Sunda.
Dariku yang manja,
Kamu buktikan bahwa tua
dan dewasa hanyalah setipis angka.
Komentar
Posting Komentar