Aku Mencari Aku
Aku rindu dirimu.
Rindu tawamu yang memecah hening meski tidak berkeping-keping. Rindu pada
dirimu yang melawan gravitasi, lompat sana-lompat sini. Aku rindu senandung
suaramu yang tidak pernah berhenti melebur A sampai Z, mengulangnya kembali
begitu terus sampai kau lelah. Kau beri jeda pada malam, lalu kau kembali
mengulang senyum, tawa dan nyanyian ketika pagi menculik bulan. Kau
berpetualang pada bosan, bagimu menaklukkan monoton adalah hal menyenangkan.
Aku suka tingkahmu bersungut-sungut memecah sepi. Bagimu, cukup mandiri saja
yang membawamu sendiri dan keangkuhanmu pada sepi membuatku berempati menemani.
Meski begitu, sesekali dirimu masih bermanja ria untuk mengecup sedikit kasih
sayang mereka yang menyayangimu tanpa terkecuali pembencimu.
Aku ingin bertemu
dengan sifatmu yang tidak pernah berpura-pura meski kau berada di dunia yang
menomorsatukan kepalsuan. Ingin kuculik apa adanya dirimu, bahkan ketika dirimu
melucuti satu persatu kesombongan dan kebinatanganku di depan moral dan Pancasila.
Meski dirimu tak mengenalnya sampai tingkat mahadewa. Aku suka caramu bertahan
hidup di dunia, ya, di dunia. Dengan
sikapmu yang apa adanya, kau berlarian menjauhi naif, menciumi realistis
di tengah-tengah agama. Meski nyatanya kau bertekuk lutut di depanNya. Kau
membangun duniamu sendiri ketika radio-radio dunia terlalu bising untuk
didengarkan, tertawa sendiri menjauhi hal-hal yang dapat menjadi duri dalam
hidupmu. Seringkali kau berada di tengah-tengah orang yang berkata penting,
tapi nyatanya dirimu sendiri mencari penting-penting lainnya karena menurutmu
apa yang mereka rebutkan, apa yang mereka ributkan adalah hal-hal yang paling
tidak penting. Aku gemas melihat tingkahmu yang selalu berbeda, sudut pandangmu
menjadi harta yang paling berharga. Memandang macam hal bahkan sampai yang
meranapun kau tertawa, kau bertemu lucu saat semua orang bertemu sedih pada
hal-hal nelangsa sekalipun.
Kau membuatku
geleng-geleng kepala, melihatmu nikmat menertawai keterbatasan dirimu sendiri.
Tawa banyak sampai perutmu sakit, sampai matamu hanya segaris. Begitulah caramu
menikmati hidup, kau tertawai kekuranganmu sampai pada akhirnya segala kurang
itu menjadi hambar untuk disakralkan pada kata penghinaan, untuk dibayar mahal
sebagai bagian dari HAM seperti yang sering kau lihat di televisi. Menurutmu
masih banyak HAM maha tinggi yang perlu dirawat begitu baik daripada harus
mengurusi kurangmu pada gigi yang tidak rapi, bibirmu yang tebal, kulitmu yang
tidak putih mulus, wajahmu yang tidak cantik dan bla-bla lainnya. Mungkin
karena sifatmu yang cuek, tidak ingin repot-repot berdebat dengan semua lebihmu
pada dunia yang tidak ingin disaingi. Ah, kau mulai congkak.
Mereka, orang-orang
disekitarmu khatam soal
ketidakpedulianmu. Padahal mereka lupa bahwa kau sebenarnya pemikir ulung, yah
mungkin hanya aku yang paham itu. Kau hanya fokus berekspresif pada hal-hal
yang membuat hatimu tertawa, harimu ceria termasuk untuk orang-orang di
sampingmu. Tapi kau tidak pandai bercengkerama pada hal-hal yang menjauhkan
tawa apalagi jika bukan dirimu sendiri yang mengalami. Bagimu, masalahpun bisa
kau kecupi dengan tertawa, sampai membawamu pada label tidak-peka. Aku
mengenalmu begitu dalam, melihatmu berada di posisi 'jutek' padahal kau hanya
tidak pandai berbasa-basi pada sesuatu yang seharusnya lebih gegas untuk
dinikmati momennya. Untuk apa berpanjang-panjang ria jika sebenarnya detik
inipun kau sudah bisa katakan, bisa kau lakukan, bukan begitu? Tapi kau perlu
belajar untuk ini, berbasa-basi.
Begitu lekat kau
diingatanku, detail siluet tubuhmu sampai sifatmu menjadi gairah untuk kujamah.
Aku merindumu, diriku. Aku kehilanganmu
akhir-akhir ini, bahkan tak kutemukan dirimu dalam cermin sekalipun. ritme tawamu berbeda, kau sedikit palsu. Aku fans
beratmu, penikmat tawamu. Tawamu yang gurih dan renyah seringkali ingin ku bawa
pulang untuk kujadikan cemilan. Tapi kali ini tidak kutemukan lebur suara dan
senyum itu seperti saat kau bercerita tentang kisah cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Bumi mencintai dunia yang tidak mencintainya. Kau bersembunyi di balik
tubuhmu sendiri. Aku mengerti apa yang kau rasakan. Kau sedang bersusah payah
berlari dari sesuatu yang membuatmu jauh dari tawa yang semestinya. Dan aku
benci hal ini. Kau kembali bodoh dengan
introvertmu, yang membuatmu angkuh dengan airmata. Hatimu menampung, tapi tidak
dengan matamu. Kau sombong, merasa pundak pada tubuhmu yang tidak terlalu
tambun itu begitu kokoh untuk membawa semua penumpang bagai kapal pesiar.
Apapun itu, mungkin kau hanya butuh waktu. Tidak apa-apa, aku percaya kau
bukanlah orang bodoh yang mau dipenjara oleh sepi dan sedih. Kaulah yang
menciptakan hal bodoh untuk dirimu sendiri kemudian kau tertawai bersama udara.
Bahkan kau yang mengajariku bahwa sedih dan bahagia hanyalah soal perasaan, dan
aku tau kau akan kembali. Kita akan bertemu kembali, menyesap aroma kopi pada
udara yang sama dan meneguknya pada cangkir yang sama.
Komentar
Posting Komentar